MIRMAGZ.com – Permasalahan desainer dalam membuat desain kebanyakan adalah mengikuti apa yang sudah ada. Itulah mengapa banyak desainer yang gagal dalam menjual “ide”-nya. Karena terjebak pada mengikuti bentuk-bentuk karya desain yang telah ada. Lebih dari itu, seharusnya:
Bagaimana desainer itu menjual pikiran-pikirannya, jangan menjual karya-nya. Dibutuhkan semacam pembuktian dari bagaimana menjual pikiran?
Eka Sofyan Rizal, dalam diskusi Apakah kesadaran kita terjebak masa lalu? Rabu, 30 Juni 2021. pukul 14.00-16.00 WIB.
Kita akan dibentuk oleh kesadaran-kesadaran dari dalam diri yang terbentuk pada masyarakat. Menghadapi kehidupan termasuk untuk menjadikan manusia pada konstruksi kesadaran menjadi manusia itu sendiri. Termasuk dalam membangun kesadaran ketika membuat desain.
Terdapat beberapa tingkatan kesadaran, namun tidak bertingkat juga, bersinggungan. Sehingga bisa digolongkan menjadi beberapa kesadaran:
- Pra-kesadaran. Kesadaran dibentuk oleh pra-kesadaran, sebuah hal premodial yang muncul ketika manusia itu hidup. Diperbudak oleh hal-hal material. Terjebak pada kesadaran yang telah ada. Pikiran yang subjektif ini yang akhirnya menjadikan desainer membentuk kesadarannya hanya menjadi pemikiran yang telah ‘pakem’ pada masanya.
- Terdapat juga kesadaran magis, yang mana tidak bisa diubah, menjadikan manusia untuk kepadanya. Bercermin pada kondisi saat ini, sehingga diikuti saja. Biasanya mengikuti apa yang sudah menjadi mitos untuk dilakukan pada masa kini. Misalkan logo yang tren seperti ini, maka harus seperti ini. Kalau kesadaran teknis misalkan produk ya, masalah-masalah teknis, dan mengerti sebab-akibat yang biasanya terjadi.
- Kesadaran naif, juga ada pada wilayah lampau, sama persis dengan kesadaran naif dengan contoh-contoh lampau. Kesadaran naif, yang menjadikan desainer untuk mengikuti berbasis formalitas. Hanya menggarap desain sesuai dengan brief dengan sifat polos, lugu. Sehingga desainnya hanya menjawab secara teknis. Berasal dari contoh-contoh yang ada, solusinya beautifikasi-nya.
- Kesadaran Idealis memiliki tujuan untuk perubahan, bukan transformasi. Sifat transformatif merupakan perubahan yang berangsur-angsur, bergantung pada sisi kritis, dan kesepakatan bersama. Biasanya desainer diperbudak oleh ide utopis/absolut. Seperti: film tidak memiliki dunia yang idealis, gambaran-gambaran ideal terhadap apa yang ingin dinikmati. Contoh lain adalah: perubahan terhadap ketidakadilan, menyangganya dengan konsep yang tidak adil; tak setara, otoriter, karena mengacu pada sistemnya sendiri, memerangi sistem yang sudah ada, namun dengan idenya sendiri. Padahal secara paradoks, keadilan akan menghasilkan ketidakadilan baru, termasuk golongan-golongan tersendiri. Diperbudak oleh konsep ideal yang ada pada diri sendiri maupun golongan.
- Kesadaran kritis, merupakan tujuan, kesadaran refleksi diri, untuk mencapai benefit, bukan hanya keuntungan semata. Misalkan seorang desainer membuat logo, tidak hanya logo namun juga memberikan solusi terhadap perusahaannya. Sesuai dengan permasalahan akar dari sebuah proyek desain. Memaknai masalah secara mendalam, karena apabila permukaan, tidak akan menjawab permukaan. Lebih realistis dibandingkan dengan kesadaran magis. Kesadaran kritis mengharuskan untuk mengerti sistem, menghargai adanya hal tersebut. Melalui dialektika, dialog hanya terjadi apabila saling menghargai dan saling mengerti, sistem yang sekarang dengan golongan tertentu, tapi juga menjawab golongan orang lain, bahkan golongan marginal. Karakteristiknya tegas diri, tetap harus ada konsep yang jelas, dan konsep holistik tentang sesuatu, bukan hanya abu-abu, namun tegas. Karena memikirkan hal-hal lain akan menimbulkan konflik untuk dikelola, dengan mengelola konflik, justru konflik bukan dihindari, namun dikelola. Mengubah sistem secara adil dan sadar. Memahami rasio, tidak terjebak pada momen tertentu, tidak terjebak pada contoh peristiwa masa lalu, tetapi mencoba memahami kondisi saat ini. Solusi lampau tidak menjadi bisa untuk zaman sekarang, oleh karena itu, diperlukan kesadaran untuk memahami, kondisi moment, menuntaskan diri pada jebakan/ruang, dengan realistis hari ini. Kesadaran yang terjebak pada pakem, bermoral tinggi, namun moral-moral baru, yang menurut kita perlu diadopsi, juga tidak menjadi masalah, untuk menjadi desain baru atau estetika baru atau pemaknaan baru. Pemaknaan terhadap diri diperlukan agar kesadaran ini timbul. Inter-idealisme, intersubjektif, perpaduan antar-antar personal harus juga dilakukan. Pengetahuan dari orang lain tersebut untuk menemukan format baru, untuk solusi. Solusi bukan hanya di result tapi di proses.
Kesadaran Seharusnya: Kesadaran Kritis
Yang tidak kita ketahui, maka kita dekati, justru melalui kesadaran kritis hal-hal baru bisa didapatkan. Problem itu bukan sebagai pengetahuan, namun mencari sesuatu hal yang baru. Pengetahuan masa lalu semacam teoritik, akhirnya harus ditunda (disimpan), untuk tidak menjebakkan diri, namun mengamati apa yang terjadi.
Kita perlu mendekati subjek, objek-objek dijadikan subjek, seluruh objek memiliki nilai-nilai, maka mengamati subyek harus dilakukan oleh desainer. Memahami kondisinya, sepertinya tiada usaha, hanya berada saja, namun memahami juga adanya mimpi-mimpi, dialog yang bisa terjadi disini, bisa menghasilkan pengetahuan baru. Bagaimana memahami orang lain untuk bersatu dengan pemahaman kita, layaknya Fusi Horizon, Gadamer.
Karakteristik berikutnya setiap masalah memiliki identitas yang berbeda, tidak menggunakan rumus, semacam cara kerja yang fix. Justru harus ada percobaan-percobaan, untuk menjadi realistis, merealisasikan ide. Tema yang dikejar adalah, apakah konsep yang dibuat, hasil dari ingatan-ingatan kita, atau tema hasil dari pengamatan kita terhadap subjek-subjek, atau proyeknya.
Apakah pikiran itu eksperimen atau rumusan, supaya membantu kita memahami kesadaran kritis perlu adanya dialog. Ada kemampuan dialogis, yang format paling klasik adalah bertanya. Mempertanyakan apa yang sudah berikan dari orang lain.
Nilai-Nilai pada Desain seharusnya
Adanya proyek konseptual yang harus digarap untuk membentuk konstruksi baru terhadap proyek konseptual. Dan sedikit mempengaruhi reproduksi karya desain kita. Apa yang ditawarkan pada desain seharusnya nilai-nilai baru, melupakan nilai-nilai lama, punya semacam nilai baru yang merupakan gabungan dari nilai-nilai lama.
Orang bisa lihat nilai-nilai baru. Memetakkan apa itu profit, apa itu benefit, untuk mempengaruhi client. Sehingga pencapaian pada pemikiran kritis adalah perpaduan antara pemikiran desainer dengan client itu sendiri, berupa benefit.
Benefit itu bisa menghadirkan profit-profit baru, selain itu hal ini merupakan produk investasi pada diri desainer. Form-nya harus lebih baik daripada karya-karya yang menggunakan nilai-nilai lama, hanya sekedar bentuk-bentuk yang telah ada, melalui berfikir desain.
Karya desain tidak hanya pengindahan semata, beatiufikasi saja, namun untuk edukasi bersama antara desainer dengan client. Memberikan solusi untuk pengetahuan client. Ide kreatif yang mampu untuk menyelesaikan konstruksi pemikiran, untuk belajar belajar.
Client belajar tentang desain, desainer juga belajar tentang proyek client. Konsep tujuannya seperti apa? Supaya mendapatkan banyak manfaat desain tersebut yang bermanfaat untuk perusahaan tersebut. Misalkan merubah visi, atau memberikan pandangan baru tentang bisnis yang dikembangkan.
Hal yang bisa disadarkan bersama akan membantuk kesadaran kuantum, bukan tentang logo, tapi perilaku dari membuat logonya, fenomena dari proyek mendesain logo yang didalamnya ternyata kritik dari desainer kepada client, berkaitan dengan visi perusahaan, proyek yang sedang digarap.
Akhirnya bukan tentang logonya, tapi seberapa kuantum yang dapat ditawarkan kepada kuantum pada momen tersebut. Desainer diharuskan untuk mengeksplorasi pemikirannya, tidak berbasis pada nilai proyek, namun juga benefit yang bisa dihasilkan bersama. Kepentingan bersama, antara client dengan desainer yang harus dibangun.
Malah justru, karena biaya terbatas, dibutuhkan kreativitas yang lebih tinggi. Kalau biaya tidak terbatas, lebih mudah. Maka, kebenaran, idenya biasa-biasa saja, sederhana. Ketika biaya kecil, maka justru harus lebih kreatif. Segala macam kondisi menghasilkan sintesis yang berbeda. Padahal komersil, hanya dimensi yang sederhana, ekonomis. Kalau sudah memahami prinsip ekonomi, makin tinggi kualitas dari seseorang, makin tinggi harga.
Makin desainer berlindung dibalik karya, makin rendah apresiasinya. Karyanya yang dinilai, bukan pikiran dari desainernya. Client jauh lebih membutuhkan evaluatif visi dari perusahaannya. Seperti contoh misalkan, sebetulnya logo merupakan representasi dari sebuah visi. Logo hanya perwakilan dari visi perusahaan, desainer mendesain logo, hanya merepresentasi dari visi perusahaan.
Sebetulnya, kita terjebak pada metode-metode apresiasi yang berbasis pada karya secara kulit, bentuk logo yang begitu-begitu saja. Justru desainer harus mampu mempertanyakan eksistensi client, mengamati potensi client ada apa saja, dan me-reorganisasi aset-aset yang telah ada, apakah mungkin bisa muncul aset baru. Desainer butuh mentalitas untuk melampaui dari desainer yang mengurus kegiatan mendesain saja.
Service Desain
Pertanyaan berikutnya, apakah desainer juga buat solusi untuk pelayanan bagi perusahaan? Service desainer, apakah kita sebagai desainer berani untuk membuktikan dan melakukan itu? Untuk melangkah lebih jauh dari kegiatan desain saja yang sudah dilakukan.
Seharusnya yang tadinya simulatif, apabila itu bermakna, maka jadinya realistis. Cari ide baru untuk permasalahan client sebenarnya. Kesadaran kritis mutlak dibutuhkan agar hal ini bisa terjadi. Desainer harus melewati banyak hal, menguasai teknis, sebelum mencapai kesadaran kritis. Kesadaran kritis, merupakan evaluasi menyeluruh pada diri desainer, dan menetapkan kembali niat membuat desain.
Padahal apabila kita melihat definitif dari Desain, semua orang adalah desainer. Justru hal ini membuka cara befikir ilmu desain, bukan ilmu yang eksklusif, namun inklusif, melibatkan orang lain. Bersifat kolaboratif, saling mengisi.
Maka tidak heran apabila ada aset visual yang murah, aplikasi logo ada, dan bentuk desain bisa didapatkan banyak tempat, terutama ketika aplikasi digital begitu marak seperti hari ini, desainer bisa dibayar murah karena yang dijual adalah karyanya, bukan idenya.
Dan biarkan orang yang jago teknis menyebutkan dirinya sebagai desainer. Desainer yang belajar keilmuan desain seharusnya mulai ke wilayah-wilayah baru melalui kolaborasi.
Interdisiplin yang bisa muncul ketika pribadi desainer terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Ilmu desain bisa memasuki dan dimasuki oleh ilmu yang lain. Saling memahami ilmu masing-masing, namun meleburkan pengetahuan baru.
Itu prinsip kolaboratif. Melalui kolaborasi, semacam saling mengisi ilmu pengetahuan untuk memecahkan solusi. Maka, mulai memahami tentang definisi tentang ilmu desain itu sendiri.
Semacam Kesimpulan
Kita sadar, bahwa pasar bisnis desainer, bukan ditentukan oleh desainer. Pasar bisnis dari desainer adalah client, yang menyebabkan sebuah proyek eksis, adalah client. Apabila client tidak mengerti desain, desainer akan pasrah terhadap apa yang disodorkan ke desainer.
Bagaimana nilai proyek desain supaya lebih besar? Client harus menjadi teman dari desainer untuk memperbesar ekspansi. Misal, kalau client awalnya mikir, saya perlu logo, karena desainernya hanya bikin logo, maka desainernya harus membuat ide untuk membuat identitas bisnis dari client, sehingga berbeda dengan kompetitor yang lain, membedakan konsep dengan lini bisnis lain. Jangan sampai terjebak pada pemikiran desain pada masa lampau.
Client akan mulai sadar bahwa “saya bikin bisnis, saya contact desainer.” Bukan saya butuh logo, saya contact desainer saja. “Saya bikin konsep web, saya contact desainer.” Maka proyek bisnisnya, bisa jauh lebih besar. Kemungkinan eksistensi desainer pada client bukan hanya ketika client ingat apa yang bisa di”serve” desainer, namun justru tawaran ide tentang bisnis bisa berekspansi lebih besar.
Sepertinya “tambahan” ketika mengerjakan proyek, desainer juga menawarkan hal baru untuk lini bisnisnya. Memberikan pemikiran masa depan tentang desain, dan memberikan desainer nilai tambahnya.
Pemikir Muda, Pengajar Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, telah menyelesaikan gelar Doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Peneliti serta penulis pemikiran tentang Seni.
1 thought on “Resume Diskusi di Ruang Cyan: Apakah Desainer Terjebak pada Kesadaran Masa Lampau?”
Pingback: Resume Diskusi di Ruang Cyan: Apakah Desain Harus Bersandar pada Teori? - Mirmagz