MIRMAGZ.com – Notulensi Seminar Seni Urban dan Estetika Sehari-hari
Institut Kesenian Jakarta, 2 Agustus 2017 | 09.00-17.00
Tulisan ini akan memberikan bagaimana suasana diskusi dalam ruangan Pascasarjana tertanggal 2 Agustus 2017.
Pada sesi utama Seminar ini diisi oleh dua pembicara utama: (1) Risa Permanadeli, P.hD, dari Pusat Kajian Repreentasi Sosial Indonesia; (2) Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn, M.Hum, Budayawan dan Rektor IKJ
Risa menyampaikan tentang Fungsional Estetik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan awalan estetika tidak hanya muncul di galery-galery yang menampilkan seni tinggi, di Paris (dan eropa pada umumnya) seni dan estetika masuk dalam ruang-ruang pribadi dan sosial di berbagai rumah. Hal ini dapat diperhatikan dari sebelum Renaisans pada abad sebelum abad-17, estetika mengarah kepada unit tunggal, Tuhan.
Setiap manusia Eropa di jaman sebelum abad-17 mengarahkan ekspresi seni mereka kepada Tuhan, lahirlah gereja-gereja katredal dengan berbagai seni yang menempel di sana. Setelah Renaisans, kiblat terhadap ke-Tuhanan terdekontruksi oleh rasionalitas.
Sehingga, negara mengatur segala bentuk hajat orang banyak, membentuk sistem, mengatur ruang, mana yang boleh, mana yang tidak boleh. Sehingga rutinitas menjadi sebuah hal yang biasa untuk manusia eropa kala itu. Ekspresi seni yang pada zaman sebelum Renaisans berkutat pada Galery, berubah kepada seni-seni dengan galery-galery pribadi. Hal ini dibuktikan dengan etalase-toko di Paris dan kota-kota besar di Erpoa dipenuhi oleh seni-seni pada barang-barang sehari-hari.
Jakarta? Bagi Rita, estetika di Jakarta berakar pada sosial masyarakat yang semakin rumit. Bagaimana ‘tiny’ house dapat ditemui dibelakang rumah-rumah elit. Potret sosial masyarakat yang belum memisahkan antara ruang publik dan ruang sosial, membuat Jakarta masih belum dapat mengkonstruksi estetika apa yang tepat untuk Jakarta, karena setiap hari kita (yang ada di Jakarta) disuguhi berbagai visual iklan di manapun, konon yang paling mahal untuk iklan luar ruang, yang paling mahal adalah daerah macet di Jakarta.
Subyek ideal ‘negara’ belum dapat menjadi ‘common sense’ untuk mengatur Indonesia, berbeda dengan eropa yang sudah mengatur bahkan untuk urusan tempat tinggal.
Seno membicarakan teoritik dari Estetika, sejarah, dari Durkheim, Weber, Marx, sampai Khan yang menolak adanya estetika yang kolektif. Bahwa seni itu tidak dapat universal. Mereka sendiri-sendiri
Setiap individu memiliki identitas yang menjadikan dirinya mengakui adanya realitas tentang kelas/ras/agama/pekerjaan pada masing-masing orang. Maka dari itu, setiap individu berhak untuk menentukan estetikanya sendiri-sendiri. Karena mereka menggunakan Leisure (waktu luang) akan meningkatkan Consumtion (konsumsi). Hingga pada akhirnya, orang-orang urban (seperti di Jakarta) hanya akan menikmati seni ketika hari libur, Sabtu-Minggu.
Terlepas dari ekspresi seni yang dialami manusia urban, sejatinya, estetika selalu hadir. Hanya saja tidak disadari secara penuh. Hanya sekedar, ‘oo, itu toh’ yang membuat seni dan estetika tidak berpangkal pada keilmuan, hanya kepada kepuasan pribadi. Seno menjelaskan kemasan-kemasan masa lalu yang telah memiliki estetikanya, bungkus korek, bungkus puyer, dlsb. Ada kode-kode semantik yang dapat dibedah sebagai sebuah ilmu visual.

Pemikir Muda, Pengajar Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, telah menyelesaikan gelar Doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Peneliti serta penulis pemikiran tentang Seni.