Dongeng dari Budi Hardiman: Seni dan Reproduksi Digital oleh Walter Benjamin

MIRMAGZ.com – Walter Benjamin menjadi tokoh yang didongengkan oleh Budi Hardiman dalam kuliah perdana pada tingkatan terkahir pendidikan di ISI Yogyakarta pada 2019 lalu. Walter Benjamin lahir di Berlin, 15 Juli 1892, keturunan Yahudi, dikejar NAZI, dan mati bunuh diri pada tahun 1940. Kawan pemikirnya adalah Adorno, Theodor Adorno. Jelas, bisa diterka bahwa mereka penerus kiblat Mahzab Frankfrut.

F. Budi Hardiman memulai pembicaraannya tentang bagaimana fenomena Seni sudah bukan lagi barang milik seniman semata. Makna, nilai, bahkan ‘ruh’ (Hardiman menyebutnya ‘aura’) sudah menjadi bagian dalam dunia modern.

Semenjak awal abad 19, sudah diprediksi oleh Benjamin dalam karyanya Das Kunstwerk im Zeitalter seiner technischen Reproduzierbarkeit yang ketika diterbitkan merupakan karya Disertasinya yang ‘mogok’. Baru ditahun 1970-an karya ini banyak dikaji.

Baca juga:  Cara Mengkaji Karya Seni Rupa: Estetika-Mayer Schapiro dan Kritik Seni-Feldman

Hardiman memilih Adorno karena kajiannya tentang Seni, sejarah Seni, yang komprehensif dan padat serta begitu memiliki isi yang kuat tentang bagaimana Benjamin memandang sebuah Seni. Kala itu, fotografi belum sepesat sekarang perkembangannya, karya film juga sedang berkembang. Namun Benjamin membaca fenomena ini merupakan implikasi dari reproduksi mekanis.

Artinya, karya seni ketika sudah tercipta, maka akan sangat mudah untuk di’duplikasi’ secara mekanis, dengan berbagai teknik, dan mengakibatkan produksi karya seni menjadi begitu banyak. Layaknya hukum ekonomi, semakin banyak, maka harga akan semakin murah.

Fenomena dewasa ini,  digitalisasi telah menjadi evolusi dari reproduksi mekanis. Tidak hanya diduplikasi,namun juga tersebar begitu banyak di dunia maya, yang mengakibatkan tidak wajib hukumnya ada material/medium yang menempel pada karya seni.

Baca juga:  Mengapa Seni Ada dalam Keseharian?

Dematerialisasi terjadi, karya seni tidak hanya menjadi sebuah hal yang agung, seperti zaman Dark Age, atau zaman sebelumnya. Bagusnya, semua orang dapat berkarya, dapat menikmati karya seni, melalui gawai dan internet. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana perubahan cara reproduksi ini mempengaruhi karya seni dan pengalaman estetis kita tentangnya? Bagaimana bentuk masa depan karya seni?

Benjamin yang menganalisis perubahan-perubahan dalam seni dan menawarkan konsep yang “bermanfaat untuk perumusan tuntutan-tuntutan revolusioner dalam  politik seni”, dengan menggunakan pengandaian-pengandaian yang bersifat teologis (spekulas metafisis, bukan dogma gereja), yang juga sekaligus politis. Hardiman membedah dan mewarakan pandangannya dari apa yang digunakan Benjamin melalui tiga (3) thesisnya tentang:

  1. Otonomisasi karya seni: Awal karya seni yang merupakan bagian dari ritual, akhirnya menjadi otonom, berdiri sendiri. Misalkan Black Madona yang menjadi simbol pada sebuah agama, tidak lagi menjadi dogma, tidak lagi dikultuskan, apabila dia berdiri di galeri. Dia memisahkan diri sebagai bentuk-bentuk yang paling profan dari kultus atas keindahan.
  2. Fungsi Politis seni: Dimana karya seni tidak lagi melayani tujuan-tujuan ritual dan kultus, tidak lagi menjadi sakral, namun memainkan peran politis. Jelas NAZI mempraktekkan melalui propaganda yang telah dilakukan di masa silam
  3. De-Aura-tisasi: Reproduksi mekanis, membuat karya seni memudarkan ‘aura’. Menghilangnya ‘aura’ karya seni menjadikan karya seni tidak lagi menjadi benda yang estetis, tapi tidak semua begitu. Misalkan ketika melihat lukisan monalisa, atau menikmati musik gamelan jawa, akan lebih terasa ‘aura’ dan benar-benar autentik ketika bertemu langsung, dan berinteraksi. Pada akhirnya, reproduksi mekanis menjadi salah satu faktor ‘aura’ karya seni menjadi memudar.
Baca juga:  Sejarah Desain Grafis Awal sampai Abad ke-19

Ketika ditarik pada zaman sekarang, maka akan menimbulkan kesamaaan pemikiran antara reproduksi mekanis dan digital: sama-sama mengaburkan batas antara otensisitas dan inotenstisitas karya; sama-sama tidak melindungi karya dari pemakaian politis. Namun, apabila dilihat dari isu filsafat terbagi menjadi 3:

  1. Ontologis: Placelessness karya seni; dimana karya seni tidak akan mewujud, dan mungkin akan menjadi ‘hantu’ digital, layaknya manusia yang telah mati, namun berinteraksi untuk disapa di facebook, misalkan. Tanpa keduniawian secara ragawi, implikasinya adalah pertama, death of medium, tidak lagi perlu adanya medium karya seni, kedua fluiditas karya sebagai citra murni yang immaterial, ide-ide tidak lagi menjadi bagian pribadi seniman, namun menjadi kolosal. Karya seni menjadi ‘omnipresen’, ada, namun secara fisik tidak ada.
  2. Epostimologis: Persepsi terhadap dunia lewat teknologi mengandung ambivialesi antara perluasan kemampuan perseptual dan pada saat yang sama reduksi pengalaman perseptual itu sendiri, yang pada akhirnya objek estetis akan menjadi informasi belaka. Misalkan ketika kita menikmati mozzart, tidak lagi merasakan suasana emosi ketika mendengarkan melalui headset. Pada dasarnya ketika sudah masuk kedunia internet, itu hanyalah informasi belaka, pengalaman estetis kita tidak bermain didalamnya.
  3. Aksiologis: Tidak ada atensi karena kecepatan reproduksi objek estetis, layaknya kita scrool instagram, terlewat bukan? Termasuk untuk karya seni yang immaterial di dunia digital. Juga tidak ada kejutan-kejutan dalam menikmati dalam pengalaman estetisnya.
Baca juga:  Seni dan Ilmu Seni: Sebuah Pengantar

Seni tidak bisa membendung zaman digital. Ada pilihan untuk mempertahankan seni sesuai dengan fungsi dan makna seni itu sendiri. Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, seni harus dapat menyingkap ambivalensi dalam dunia digital. Solusinya adalah menempatkan ‘alat’ sebagai ‘alat’. Digital biarlah digital, tapi akal kita tetap pada nilai-nilai luhur manusia. Menjadi manusia yang benar-benar manusia, tidak menjadi robot manusia.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

https://mirmagz.com/2024/05/27/selamat-ulang-tahun-saint-petersburg/?utm_source=webpushr&utm_medium=push&utm_campaign=9266

http://MIRMAGZ.com -sebelum seseorang menulis sebuah ulasan tentang suatu buku, perlu untuk mengerti mengapa dia melakukannya. #caramenulisresensi

https://mirmagz.com/2023/01/11/cara-menulis-ulasan-buku-yang-mudah-dan-menyenangkan/

Load More
anz.prjct
Medusaphotoworks
logo-lyubov-books
Lyubov Books - Toko Buku Online
Buku Terbaru WPAP dan Mistik Kesehariannya

Most Popular

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.