MIRMAGZ.com – Pendidikan merupakan hak dasar manusia untuk bisa berdiskusi dengan apa yang ada disekitarnya. Tidak hanya sekedar berdiskusi seperti layaknya orang gila, namun pemikiran dialogis untuk mencapai pemahaman yang utuh sesuai dengan karakteristik murid atau mahasiswa. Guru harus mengenali potensi, minat dari murid.
Diskusi kali ini memiliki pengantar yang cukup memberikan refleksi terhadap apa yang telah kita dapatkan dari pendidikan. Sebagai generasi yang pernah mendapatkan pendidikan utuh dari sekolah dasar sampai kuliah, pertanyaan-pertanyaan dalam diskusi ini mulai menggoncang keyakinan pendidikan kita:
Apakah manusia mampu belajar tanpa guru tapi dari pengalamannya? Apakah pada dasarnya manusia itu sebenarnya baik, atau sebaliknya? Apakah pengetahuan kadang malah dapat menjauhkan manusia dari kebahagiaan, bahkan menyebabkan dirinya jadi narsistik? Apa guru tidak perlu menguasai semua mata pelajaran karena hanya sebagai fasilitator? Apakah hubungan guru-murid mesti lebih cair, akrab dan sejajar? Apakah sekolah menyiapkan seseorang untuk menghadapi kehidupan sebenarnya, atau justru sekolah itu sekaligus kehidupan sebenarnya?
Diskusi ini dipandu oleh Syarif Maulana dan Eka Sofyan Rizal, dengan tema Pendidikan Progresif. Berikut ringkasan diskusi yang terjadi pada Sabtu, 10 Juli 2021. Diantar dengan pengetahuan tentang pendidikan progresif, dan akarnya.
Materi Pematik
Pendidikan progresif diperlukan untuk membentuk pemikiran tentang masa depan murid atau mahasiswa. Melalui pendidikan progresif, murid diberikan ruang untuk mengembangkan apa yang diminatinya. Tidak terkungkung pada harapan guru atau dosen, bahkan orang tua.
Namun bisa berkembang sesuai dengan pemikiran serta tumbuh kembangnya. Bentuk-bentuk pendidikan yang hari ini hadir biasanya terkurung pada pemikiran pareninsial, dimana sumber pengetahuan ada pada guru, atau teori yang memberikan paradigma tentang kehidupan murid itu sendiri.
Dampak dari pendidikan perensial ini berakibat pada mandeg-nya apa yang sebenarnya bisa dikembangkan oleh murid atau mahasiswa. Pada prakteknya, banyak guru yang menjelaskan sentral pengetahuan dari guru harus diikuti, dihapalkan, dan akan keluar dalam ujian.
Mengakar keberbagai keilmuan, hal ini menjadi bagian penting untuk lulus, dan mendapatkan ijazah. Namun pendidikan tentang membangun karakter, nilai dalam diri, jati diri, jauh dari kata cukup. Murid harus keluar sekolah untuk mengembangkan apa yang ada di dalam dirinya. Mencarinya sebagai pelengkap dari pendidikan formal yang ada.
Pendidikan Progresif pada Desain
Pendidikan desain hari ini juga terkurung pada paradigma bahwa guru atau dosen haruslah ditepati. Tidak mengikuti apa kata dosen, memberikan dampak untuk tidak mendapatkan nilai yang diharapkan. Melalui pendidikan desain yang tersentral, bahwa guru atau dosen desain merupakan dewa yang harus ditaati inilah akhirnya desain hanya berkembang pada titik teknis.
Mengikuti arus tren, dan tidak menjadi kritis. Padahal yang dibutuhkan pada pendidikan desain adalah membuat konstruksi berfikir baru tentang desain itu sendiri, mempertanyakan desain, eksistensinya, dan mencapai kebaharuan dalam pemikiran.
Sayangnya untuk sampai pada titik ini, dunia desain masih sekedar mencari bentuk yang paling estetis, padahal estetis dan tidak estetis adalah masalah selera dari orang yang menerima desain, atau client. Di situlah ujungnya desain mengejar bentuk saja, namun tidak sampai pada esensi desain yang diinginkan.
Misalkan ketika logo dibuat, mungkin akan menggunakan prinsip kesederhanaan, kejelasan, tapi client tidak menginginkan bentuk zaman dulu yang rumit. Hal ini yang diinginkan, dan dibenturkan bahwa logo harus simpel, mudah dilihat, dan kriteria logo lainnya. Terjebak pada pemikiran tetang desain yang bagus seperti apa, bukan idenya bagaimana, dan bagaimana mengembangkannya.
Untuk mengurainya, perlu dilihat bagaimana peran pendidikan pada desain, bahwa penting juga untuk diketahui tentang bagaimana konstruksi berfikir tentang perenialisme yang hari ini berkembang. Hari ini, kita menghadapi pada sistem pendidikan yang berdasar pada guru atau dosen, namun titik pijaknya justru melihat bagaimana murid atau mahasiswa desain mengembangkan kehidupannya masing-masing.
Misalkan ketika dia ingin mengembangkan pemikiran tentang game yang bersifat spiritual, maka nilai spiritual seperti apa yang bagus untuk sebuah game, bagaimana mengaplikasikannya. Konten diluar dari desain inilah yang menjadi sumber inspirasi dan mengembangkan pemikiran kritis seorang murid atau mahasiswa desain itu sendiri.
Penting juga untuk membangun konstruksi nilai yang ada dalam pemikiran murid, otaknya. Kita hanya memahami apa yang ada di otak, orang yang uangnya banyak, kehidupannya itu bahagia. Kita tidak melihat dari kehidupan yang lain.
Kita mengejar cuan, ternyata dapet cuan, kok tersiksa dalam mencari cuan. Hanya bisa disadari kepada mereka yang jujur untuk dirinya sendiri, sukses diri sendiri. Tujuan dari pendidikan adalah supaya orang menjadi kreatif, supaya orang dapat punya solusi untuk problemnya masing-masing.
Pengetahuan itu hanya banking system. Ketika berfikir, menganalisis, bukan hanya pengetahuan, tapi merupakan campuran dari apa yang ada dalam diri kita yang harus kita bangun. Kebanyakan orang, kalau pendidikan setengah, hanya menjadi orang yang kongkrit, nyata.
Harusnya terdidik, menjadi lebih ‘wise’, untuk menjadi manusia sesungguhnya, manusia yang tidak lagi mengkategorikan sesuatu, untuk mencapai pemahaman. Orang kreatif itu orang yang manunggal, menyatu dalam kegalauan, keraguan. Tidak melihat hal itu terpisah-pisah, ada kesatuan yang bisa dilihat oleh orang kreatif.
Konsep pendidikan hari ini yang terpisah-pisah pada bidang-bidang tertentu; IPA, IPS, Bahasa, Vokasi, seharusnya murid atau mahasiswa belajar dahulu yang sifatnya abstrak, konsep, ide, dan lain sebagainya. Melalui tingkat pendidikannya, mereka dipahamkan tentang konsep indah misalkan, atau konsep akal budi sesuai dengan tingkatannya. Misalkan untuk TK, menerjemahkan karya-karya Pramoedya Anata Toer, atau Tan Malaka ke bentuk yang sederhana sesuai dengan nilainya.
Misalkan, bagaimana orang memahami konsep pendidikan vokasi, siap kerja. Isi konsepnya benar, namun sebuah konsep harus berwujud, kan? Seharusnya kita mulai sadar, melalui pemikiran kritis tentang pendidikan kita hari ini, bahwa tidak menilai sesuatu dari perwujudannya, namun merupakan satu kesatuan sesuatu yang manunggal.
Biasanya mereka yang putus asa terhadap visi pendidikan, akan berfikir bahwa ujung-ujungnya duit (uang). Dia tidak bisa mendayagunakan uang itu sendiri.
Kalau kita hanya mendidik orang yang sifatnya kongkrit, yang terjadi adalah mentalitas yang terus mengkoreksi, mengkoleksi apa yang ada disekitarnya. Mengumpulkan saja, tidak berfikir secara kreatif. Padahal, studi kreatifitas-lah yang harus dipahami, bagaimana caranya mengajarkan studi kreatifitas sejelas mungkin, semudah mungkin, meskipun itu sulit terutama untuk pendidikan desain kita hari ini.
Bagaimana mencari identitas yang substansial, bukan identitas yang formal. Identitas formal seperti; kita perempuan, kita Indonesia, itu formal. Substansial membutuhkan pemikiran yang lebih dalam. Bentuknya adalah kemanunggalan itu sendiri, menyadari bahwa semua itu terkait dan bersatu, namun kita perlu melihatnya sebagai bagian-bagian (parsial).
Hal-hal yang mendalam itu memang sulit, nah justru itulah tujuan dari pendidikan itu sendiri. Membentuk nilai-nilai yang sulit tadi, menjadi mudah untuk dipahami.
Ironisnya pendidikan S1 dan D4 kita masih sama, sama-sama vokasi, banyak yang diajarkan adalah teknik. Seharusnya S1, memuat gabungan teori tinggi (canggih), dan prakteknya juga intens. Sedankan Studi Vokasi (terapan), lebih fokus pada penerapan, makanya banyak kelas prakteknya. Yang sekarang ada di temen-temen S1 itu masih setara D4. Belum sampai pada tahap berfikir kritis, meredefinisi pikirannya. Misal, Bagaimana desain itu dikonstruksikan, bagaimana desain itu?
Peran Keluarga
Sepertinya perlu ada “sekolah untuk menjadi Orang Tua”, untuk membentuk keluarga dan anak yang memberikan konstruksi berfikir pada lingkaran keluarga. Memahamkan apa yang tidak terpahami oleh orang-orang umum. Pada akhirnya pendidikan kita mengaharapkan “besok bisa jadi insiyur, bergaji tinggi, kerja di perusahaan multinasional, dan lain sebagainya”, semacam itu.
Orang tua memiliki peran penting dalam pembentukan dari tujuan pendidikan secara garis besar. Biasanya pilihannya adalah apakah harus mengejar ranking, atau pemahaman tentang dunia. Tidak sedikit anak yang dipaksa untuk mendapatkan ranking tinggi, padahal belum tentu apa yang dia kerjakan merupakan pemahaman dasar tentang dunia itu sendiri. Akhirnya, 90% mahasiswa di Indonesia pemikirannya akan praktis saja, pendidikan untuk mengejar CPNS, maupun kerja di tempat kerja yang bonafide.
Semacam Kesimpulan
Tujuan pendidikan yang progresif memberikan pandangan tentang bagaimana murid bisa mandiri, bisa menghadapi permasalahan, pemahaman tujuan pendidikan dalam ranah filosofis. Membangun kemandirian untuk memecahkan masalah, informal, maupun formal. Memecahkan masalah merupakan esensi dari pendidikan itu sendiri.
Meskipun tujuannya adalah cari untung atau cuan, ya gapapa, karena itu tujuan yang dibentuk. Yang perlu ditekankan adalah orang tua harus betul-betul memahami apa yang menjadi potensi anak untuk siap menghadapi kehidupan tanpa kita sebagai orang tua.
Pemikir Muda, Pengajar Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, telah menyelesaikan gelar Doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Peneliti serta penulis pemikiran tentang Seni.