MIRMAGZ.com – Diskusi ini dipandu oleh Hendro Prayitno dan dimateri oleh Eka Sofyan Rizal, dengan tema CYAN lol#67 “Bikin Konsep: Rajin Mengingat atau Berani Membayangkan?” Berikut ringkasan diskusi yang terjadi pada Rabu, 28 Juli 2021
Pemantik Diskusi
Diskusi kali ini memiliki pengantar yang cukup memberikan refleksi terhadap apa yang telah kita dapatkan dari cara berfikir. Dimulai dengan pertanyaan,
“Apakah proses memahami sama dengan memahami hidup?”
Sepertinya sama, seperti memahami ke titik lain. Proses Memahami Objek, Konsep, sampai ke Ide. Proses memahami sesuatu itu, seperti proses memahami hidup, ini merupaan perjalanan keingintahuan. Semakin ingin tahu, maka semakin dalam. Apa yang menyebabkan seseorang bisa mendalami sesuatu/hidupnya? Ya, rasa ingin tahu tersebut. Akhirnya kita bisa menjalani tingkatan-tingkatan sesuai dengan pemahaman kita.
Citra/Dugaan
Ketika melihat objek, yang dipahami adalah citra-citranya, pantulan dari objeknya. Semacam bayangan, imitasinya, atau refleksi dari sesuatu. Rasa sakit, rasa penasaran, didapatkan dari gejala-gejala tersebut. Misal tukang gorengan, bisa dilihat dari visualnya, gimana gerobaknya, tipe-tipe gorengannya, baru ketika dekat kita akan tahu apa saja detailnya.
Penangkapan citra harus direkayasa sedemikian rupa, supaya menjadi jembatan untuk masuk ke objeknya. Jadi citra ke objek.
Objek: Kepercayaan
Yang menyebabkan seseorang mampu mendekati objeknya, karena tidak terpenjara oleh citra-citranya. Apakah mampu lepas dari citra dan terlepas dari objek-objek. Mungkin ketika kita terpenjara dalam citra, maka kita hanya akan tersihir didalamnya.
Melalui citra-citra yang fana, memiliki pilihan untuk membentuk pertanyaan tentang seluruh citra yang ada. Dan kita bisa lepas apabila terus mempertanyakan. Desainer biasanya membentuk citra-citra ini.
Ketika sudah ketemu objeknya, seseorang akan tau persis apa yang dibawanya. Kemudian penasaran kembali, dengan bagaimana objek ini menjadi jelas. Ini disebabkan sesuatu.
Citra dan Objek ada di wilayah konkret, dunia materi.
Apa yang diingat oleh khayalak adalah konsep. Citra-citra yang ditangkap oleh desainer.
Memahami sesuatu sama dengan memahami hidup. Memahami hidup merupakan proses pembentukan ingin tahu, dan dekat dengan proses pendidikan.
Konsep
Membuat konsep merupakan kreasi, bukan produksi, mencipta (produksi) itu kaitannya dengan kreasi. Kreasi itu ya coba-coba. Sedangkan produksi hanya mempraktekkan. Mengingat referensi, teori, mengerti teori, kemudian memodifikasinya, tidak ada percobaan dan lain sebagainya.
Menganalisis harus coba-coba, menempatkan diri pada posisi lain dari teori atau apa yang dipahami.
Banyak kreasi yang tidak menyentuh objeknya. UMKM misalnya, kita tidak menyentuh kripik pisan, yang dibuat hanya packaging. Padahal tidak mengetahui entitas objek itu diproduksinya. Langsung aja bikin websitenya, packaging, logo, maka tidak bisa menyentuh konsepnya.
Hoax misalkan, karena membuat pemahamannya sendiri melalui citra, karena mungkin tidak melalui tahap pendidikan yang baik. Dengan citra, merasa sudah dapat citra dan idenya. Jadi ada jebakan konsep citra yang ada dalam siklus di dunia.
Kenapa sesuatu yang disebut sesuatu, ya, karena dia bukan sesuatu yang lain. Misalkan biru, bisa didefinisikan dengan selain biru, merah, putih, gradasi, barang-barang yang bukan biru, misalkan.
Ide itu, adalah pertanyaan-pertanyaan abstrak tentang hal-hal yang fundamental, apa itu hidup menurut dia, apa itu nuansa sayang, damai, perang, sehingga terbentuklah semacam kategori-kategori potensi menjadi konsep. Hasil dari ide itu.
Konsep akhirnya menjadi pernyataan-pertanyaan yang perlu dibuktikan. Misalkan di desain, jadinya seperti ini, bangunannya seperti ini, perlu dilihat prespektifnya, atau denahnya, desain adalah percobaan melalui konsep-konsepnya.
Tradisi desain yang telah ada, hanya melestarikan konsep yang sudah ada. Tradisi yang baru, berawal dari ide-ide, bentuknya mungkin bukan sketsa logo, berawal dari yang abstrak-abstrak, simbol-simbol, yang bisa mengkongkritkan konsep itu. Kira-kira seperti itu.
Pra-pemahaman, merupakan pertanyaan-pertanyaan, yang berpotensi menjadi pertanyaan. Kenapa ada rasa ingin tahu, karena terampil untuk bertanya. Kalau kita tidak bertanya, kita perlu waspada, bahwa kita tau karena jelas, belum direfleksikan di dalam diri, merasa tahu karena sambil mendengarkan, namun juga membentuk pola pikiran kita terbentuk sejalan dengan konteks yang dibahas.
Membuat pra-pemahaman baru dari pra-pemahaman(2) yang ada sebelumnya. Karena tidak mungkin kita menyatakan sesuatu, karena bukan kapasitas kita. Biasanya, ada kaitannya, kualitas kita dengan pengalaman yang pernah kita lakukan.
Terutama pengalaman yang reflektif. Percuma jam terbang tinggi, pembiasaan tindakan yang sebetulnya, arahnya tidak menuju ke hal-hal yang baik. Biasa membuat desain hanya satu, sampai bertahun-tahun, jam terbangnya tinggi, namun peningkatan kualitas diri kurang, sebagai manusia dengan berbagai macam keadaannya.
Mentalitas produksi harus berubah menjadi mentalitas kreasi.
Contoh itu sebagai referensi, “oh yang seperti itu, tapi saya pengen bikin yang tidak seperti itu.” Mentalitas kita menganggap contoh, sebagai semacam struktur untuk membangun sesuatu, referensi sebagai struktur untuk menyatakan sesuatu, atau sebaliknya justru kita menggunakan semacam “oh, uda ada contoh seperti itu, oh saya coba yang bukan itu, gimana kalau begini.” Ini membutuhkan inspirasi dari contoh, untuk membuat yang seperti itu.
Membayangkan sesuatu yang tidak ada itu, diperkaya dengan pertimbangan-pertimbangan, bentuk yang menurut kita yang sudah paling layak untuk dibuat kongkrit, yang sebetulnya merupakan rangkuman-rangkuman pertanyaan kita.
Akar dari pemilihan media misalkan, memang berasal dari konsepnya. Ada bentuk-bentuk lain yang ada dalam kreasi, abstrak. Boleh kok yang lain, kenapa harus itu? Solusi paling memungkinkan dalam penyelesaian kreasi adalah KOLABORASI.
Kreasi, kita temukan dulu kosepnya, baru kita abstraksi dalam objek yang utuh. Konsep citra-nya, betul-betul entitasnya, tidak terjebak pada program-program yang merefleksikan sumberdaya. Realitas terhadap entitasnya harus mencapai konsep pada kreasi ini.
Polanya ada kesadaran kritis, holistik, namun juga tidak egois, desainer tidak terkungkung pada ide-ide yang telah ada. Tidak terlalu idealis, namun juga perlu ada dialektika, ada semacam keleluasaan, untuk membuat objek-objek lain, diatas konsep dari entitas. Objek apapun yang dihasilkan dari konsep yang sama, akan dibuat dengan satu konsep yang sama.
Kesimpulan
Tujuan utama pendidikan, membuat orang awam menjadi kreatif. Menurut analogi ini adalah sekolah, berarti orang kreatif adalah orang yang berpendidikan tinggi, karena sangat menghormati pemikiran orang lain. Maka kita hidup di dalam lingkungan yang subjektif-subjektif, jadi semua akan subjektif, harus bermitra, tidak ada yang ditinggikan, tidak ada yang direndahkan.
Pola berfikirnya harus jelas. Dasar memikirkan, alurnya jelas, dan itu seharusnya yang didapat dari sekolah. Sekolah menjadikan dirinya sendiri, menjadi program yang manusiawi. Membangun nilai-nilai, sekolah membangun analisis, mengamati sesuatu, kemampuan menilai, membuat etika-etika baru. Membuat estetika baru, menciptakan bentuk-bentuk baru, menumbuhkan kreatifitas.

Pemikir Muda, Pengajar Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, telah menyelesaikan gelar Doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Peneliti serta penulis pemikiran tentang Seni.
1 thought on “Resume Diskusi Ruang Cyan: Proses Memahami atau Berani Membayangkan?”
Pingback: Resensi Buku: Redefinisi Desain oleh Eka dan Syarif - Mirmagz