Pengalaman Sekolah Doktoral di ISI Yogyakarta? Bagaimana Pengalaman Mereka?

MIRMAGZ.com – Diskusi tentang doktoral di Institut Seni Indoenesia (ISI) Yogyakarta, tiga doktor baru pada tahun 2021, berdiskusi bagaimana kehidupan doktoral di dalamnya.

Ketika kita lulus Doktor, kewajiban kita adalah mengembangkan pengetahuan. Memiliki kontribusi penelitian.

Dr. Yusuf, pada diskusi Mitos dan Realita Doktor Seni, Jum’at, 2 Juli 2021, jam 15.00-17.00

Berikut kami rangkum isi diskusinya:

Tema “Mitos dan Realita Doktor Seni” bersama tiga alumni Program Studi Doktor Seni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta sebagai pemantik diskusi:
1. Dr. Irfan Palippui, S.S., M.Hum.
2. Dr. Hery Budiawan, S.Pd., M.Sn.
3. Dr. Yusup Sigit Martyastiadi, S.T., M.Inf.Tech.

Diskusi ini dimoderasi oleh Clemens Felix Setiawan, S.Sn., M.Hum. dan dilaksanakan pada:
Hari : Jumat, 2 Juli 2021
Pukul: 15:00 WIB

Baca juga:  Login Wifi.id Gagal? Begini Solusinya

Apa motivasi Masuk Studi Doktoral Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta?

Motivasi mengambil S3 di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dr. Yusuf, sekarang berprofesi sebagai dosen, membutuhkan S3, salah satu alasan beliau untuk sekolah doktoral adalah belajar untuk lebih detail dan dalam kaitan meneliti, nantinya dapat mengembangkan kemampuan menulis.

Dr. Yusuf memiliki background Teknik Elektro pada S1, dan Khusus Game pada tingkat Magister. Ketika sekolah Doktoral, kemampuan menulis, akan penting dan berperan serta dalam pengetahuan yang akan digeluti. ISI lebih konsisten dalam pengembangan seni tradisional dan seni kontemporer; seni yang memang berkaitan dengan keilmuan seni yang holistik, tidak hanya praktek, bagaimana kultur, bagaimana filosofis dalam konteks seni. “Inilah kekuatan seni dalam Institut Seni Indonesia,” ini merupakan statment pribadi dari Yusuf, “ada hati untuk masuk ISI,” lanjutnya.

Motivasi lain untuk masuk ke ISI adalah dari Dr. Hery. Beliau berangkat dari Pendidikan Seni pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dengan Magister Penciptaan Seni di ISI Surakarta. “ISI Yogyakarta memiliki mitos bahwa masuk ISI Yogyakarta itu susah, namun sebenarnya keluarnya lebih susah, tapi apakah sejahat itukah ISI Yogyakarta?”, Dr. Hery mempertanyakan ketika ditanya motivasi masuk ISI. Akhirnya, Dr. Hery memutuskan untuk belajar di ISI Yogyakarta. Alasan lain mengambil S3 adalah karena sudah bosan dalam mengajar, baginya mengajar begitu-begitu saja. “Tujuan lain adalah ketika masuk ISI, supaya apabila tersesat, bisa bersama-sama teman yang lain,” lanjutnya.

Dr. Irfan, memiliki homebase di Jurusan Pariwisata, namun kadang mengajar di Komunikasi. Dengan background Sastra Indonesia, beliau ingin membuktikan bahwa ketidakpercayaan orang terhadap akademisi yang memiliki latar pendidikan yang berbeda. Baginya, sastra itu bisa belajar apa saja, dari situ beliau meneliti Budaya di tingkat Magister, dan mengambil sekolah Magister di Universitas Sanata Dharma, pada jurusan Religi dan Budaya. Secara spesifik yang dipelajari olehnya adalah Kajian Budaya, namun berpusat pada Teologi. Pusat motivasinya adalah ada sebuah kegelisahan tentang apa yang bisa dilakukan hingga mampu menjawab ketidakliniearan pendidikan dari Dr. Irfan.

“Mata Kuliah pada semester 1 dan 2, ISI menyediakan fleksibilitas dalam metodologi, dan mainstream yang dapat dimanfaatkan untuk  pada proposal, dan menjembatani pendidikan Strata Satu dan Strata Dua,” katanya. Dr. Irfan sempat setahun ‘break’ untuk belajar lebih dalam berkaitan dengan metodologi, gagasan teoritis, dan apa yang akan ditemukan pada riset (Disertasi) nanti.

Baca juga:  Pengalaman Membeli Rumah Subsidi di Indonesia

Ada Tahapan-Tahapan Proses dalam Studi Doktoral

Perjalanan setiap proposal yang ada di ISI Yogyakarta tidaklah sama. Bagi Dr, Irfan metodologi dalam penulisan naskah. Yang paling penting dalam penelitian dan proposal adalah bagian Latar Belakang. Justru ketika diskusi ditekankan pada bagaimana bisa memasukkan pengalaman estetis pada Latar Belakang dalam proposal. ISI Yogyakarta memiliki kekuatan untuk melakukan penyelaman empiris tentang pengalaman estetis dari dalam peneliti.

Dr. Yusuf menambahkan, “Karena selama ini dalam mengajar, memahami desain, seni, itu menganggu pengalaman estetik yang terganggu pada hal-hal teknis. Betul bahwa penelitian bisa mulai pada hal-hal teknis, namun justru apa yang lebih filosofis dari hal-hal teknis tersebut.” Bagi Dr. Yusuf, itu yang mengubah Disertasi yang dikerjakan oleh Dr. Yusuf sendiri. Bukan hanya imitasi pada objek, dari objek nyata ke objek game. Namun lebih dalam tentang pengalaman empiris dan estetis yang menjadi landasan pemikiran dalam disertasi. Hal-hal seperti ini yang harusnya dihindari, terjebak pada hanya objek-objek seni.

Dalam penciptaan Dr. Yusuf, yang dicari adalah hal-hal yang membangun Borobudur dari dalam diri Dr. Yusuf. Agar mencapai hal tersebut, pertama harus menggali pengalaman estetis dari dalam diri yang berkaitan dengan objek. Kedua, pengalaman selama hidup terhadap objek. “Oh ternyata, mencari hubungan antara diri dengan apa yang dilakukan, dalam dunia game, maka pemain akan terbenam, hal ini apa?” Ungkapnya. Itulah yang menjadi dasar penelitian Dr. Yusuf. Bagaimana mengolah pembenaman immersion, yang berkelut pada estetika baru dalam game. “Nah, bukan how to make a game, namun justru ke wilayah filosofis, tentang estetika interaksinya,” tambahnya.

Kalau masalah proposal, pengalaman Dr. Hery, mengalami sampai 5x ganti topik, karena setiap topik bagi promotir tidak menarik, tidak mendasar. Yang menarik, di ISI Yogyakarta kebanyakan adalah penelitian tentang pengalaman. Jadi bagaimana meneliti pengalaman peneliti sendiri. Namun peneliti harus memberi jarak pada diri si peneliti, dengan objek yang diteliti, nah ini yang sulit dilakukan. “Akhirnya setelah lama mencari, dapatlah “pengalaman bunyi”, bisa menjadi hal baru dalam hari ini,” katanya. Topik Dr. Hery adalah pengalaman dan timbre itu sendiri, tentang memori, nostalgia. Perjalanan penelitian Dr. Hery diawali dengan Timbre, satu kata ini yang menjadi pemicu.

Penelitian Dr. Hery lebih bergulat pada pengalaman pribadi, akhirnya menemukan langkah-langkah yang cukup untuk membongkar pengalaman. “Justru setelah proposal, baru bisa mendapatkan, sensasi dan logic, dengan metode Logika Sensasi- Deleuze. Deleuze membongkar Francis Bacon, namun saya membongkar pengalaman dan Timbre itu sendiri pada penelitian yang saya lakukan”, imbuhnya. Studi doktoral merupakan uji kemampuan meneliti sejauh mana riset yang bisa kita lakukan.

Tantangan berikutnya untuk bagi Dr. Irfan, adalah pilihan Promotor dan Co-Promotor. “Saya sengaja pilih Prof. Djohan, dari musik, maka saya menantang diri saya untuk dari basic Cultural Studies. Pada S3, menggunakan pendekatan etnografi baru, dari situ, hanya waktu pra-kualifikasi, ketika masuk (ISI) dan interview, (kemudian ketika kualifikasi) presentasi tentang gagasan penelitian, setelah itu banyak konsultasi dengan Promotor dan Co-Promotor. Sehingga saya masuk di rekonfigurasi estetik Pakarena”, ulas Dr. Irfan tentang tantangan menyelesaikan Disertasi.

Selain upaya Dr. Irfan, menerjemahkan rasa nalar, bagaimana peneliti memandang seni dalam pandangan Asia, maupun Makkassar dalam penelitiannya. “Yang paling berat adalah, ada promotor dan co-promotor andalan, favorit. Teman-teman yang mau masuk (ISI), harus tau benar siapa promotor dan co-promotor, karena mereka akan membimbing yang paling banyak, dalam proses riset yang akan dilakukan pada Disertasi nanti. Dr. Irfan, masih sangat gagap pada metodologi, filsafat, bagaimana struktur suatu riset. Nah, struktur riset perlu dibaca lebih awal untuk persiapan dalam studi Doktoral. Hal ini harus dikuatkan lagi untuk masuk di Doktoral ISI,” ungkapnya panjang lebar.

Karena pada kenyataannya, kebanyakan kawan-kawan S3, gagal menentukan, batasan masalah, yang nantinya akan menentukan topik, rumusan masalah, kalau tidak singkron atau sesuai, pasti akan keterusan sekolah atau bablas.

“Disertasi kan hanya menjawab Rumusan Masalah. Memilih S3, memang memilih untuk tersakiti sedemikian rupa, untuk mendorong untuk belajar mati-matian. Pada S3, pada akhirnya, kita harus memunculkan gagasan baru, kalau gagal kita lakukan, pasti kampus gagal dalam melahirkan ilmuan baru,” imbuh Dr. Irfan.

Terdapat pertanyaan tentang, bagaimana kalau latar belakang kajian, ingin masuk penciptaan? “Kendalanya biasanya adalah saya harus switch metode, penciptaan, sesuatu yang sangat objektif, kita terjebak dalam penelitian penciptaan, dengan metode-metode diluar peneliti. Padahal pada proses penciptaan, peneliti sebagai pencipta, pada bagian isi dan sintesis, baru ke metode diluar dari dalam diri,” jawab Dr. Yusuf.

Misalkan, ketika Dr. Yusuf, menyelesaikan penelitian terhadap diri, ketika beliau melakukan analisis, harus memisahkan diri, antara objek penelitian dan diri si peneliti dengan menggunakan metode analisis. “Bagaimana kendala ini bisa diselesaikan, misalkan saya menggunakan psikologi, pembenaman seperti apa yang dirasakan oleh orang lain, dengan diri kita sendiri. Bagaimana kita melakukan penciptaan, namun menggunakan metode kajian. Kita harus benar-benar bisa meletakkan, mana yang penciptaan dari diri, dan pengkajian untuk diri kita,” imbuhnya.

Apakah bisa melompat dari Kajian ke Penciptaan? Bisa. S3, bisa merambah ke berbagai lini diskusi ilmu pengetahuan. Yang penting harus ada dan diusahakan adalah portofolio, karya, karena berangkat dari backgroud karya yang telah diciptakan. Portofolio kendala juga apabila biasa mengkaji, melakukan penciptaan ketika S3, biasanya akan terkendala pada pengalaman estetis. Portofolio merupakan bukti terhadap ISI untuk nanti melakukan penelitian, justru pengalaman estetis akan mudah bagi orang yang biasa melakukan proses penciptaan, dan tentu buktinya menggunakan Portofolio. “Bagaimana ketika proses belajar, kita membongkar pengalaman estetis dari dalam diri. Karena, pengkajian dan penciptaan, adalah keinginan, keinginan kuat, agar bisa menyelesaikan S3 ini. Apabila diluar dari linier seni? bisa saja terjadi,” jawab Dr. Hery.

Bagaimana membedah pengalaman pribadi selama Doktoral?

Metodenya adalah refleksi bagi Dr. Yusuf, dari masa kecil, pemicu penelitian beliau dari masa kecil sampai ketika beliau dewasa. “Maka harus kembali ketika masa kecil. Bagaimana masa kecil di didik, itu menjadi refleksi. Tentu sangat subjektif, belum tentu metode A cocok untuk sebuah penelitian. Hal ini akan sangat bergantung,” jawab Dr. Yusuf. Dr. Hery juga menambahkan, poin penting dalam penciptaan adalah refleksi. Kalau menemukan kajian sumber, harusnya titik berangkatnya ada pada refleksi. Misalkan ketika berbicara tentang batu, pada bidang fisika dibicarakan, ditempat keilmuan lain juga dibicarakan. Kata kunci itu biasa dibicarakan dimana saja? Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Fisika, Kimia, Biologi, Antropologi dan lain sebagainya.

S2 dari Dr. Ifan, lebih banyak autobiografi, bagaimana pengalaman-pengalaman nya dituliskan dalam subjek penelitian. Persoalan menuliskan pengalaman ini sangat subjektivitas, dalam ranah penelitian. Pendalamannya akan bergantung pada pendekatan yang akan kita lakukan. Bagaimana pembacaan kita terhadap referensi. Gagasan dasar juga bisa untuk dipinjam digunakan di awal proposal atau pra-proposal.

Perbedaan S2 dan S3, terletak pada kedalamannya, sampai hal yang orisinil? Bagaimana pendalamannya, caranya? Sangat dalam dan rumit bagi Dr. Hery. Kembali ke refleksi masing-masing, yang paling penting adalah hal tersebut. Dr. Hery, menemukan bahwa hal-hal yang menarik justru ketika bertanya kepada diri sendiri, yang jawaban itu kita tanyakan kembali, terus sampai sedalam mungkin.

Dengan begitu, kita harus membaca semakin banyak, dan semakin dalam semakin luas. Kalau masalah orisinalitas temuan, sedikit membatah, ketika Musikologi, Timbre sebagai warna suara, ternyata timbre adalah energi. Dan yang paling menunjang adalah metodologi yang digunakan, teori yang digunakan. Ada beberapa temuan, metodologi penciptaan dengan menggunakan konsep Deleuze, dan ketika berjalan diskusi. Deleuze logika sensasinya tidak cukup untuk membahas tentang Timbre, Force tidak mungkin tiba-tiba, hingga saya menambahkan fantasi. Yang selama ini beredar, cukup membingungkan, namun terus bertanya dengan jawaban yang telah ditemukan.

Bagi Dr. Irfan, justru pendalaman, pengalaman, titik beratnya adalah penebalan pada wilayah riset. Makin tebal, menghadapi permasalahan riset tertentu, makin dewasa. Andai saja kita sistematis, dari S1, S2, S3, semua sangat mungkin untuk menyelesaikan semua studi, sehingga menemukan hal-hal baru dalam pencariannya. Penelitiannya berawal dari diri sendiri, dan menyelami “seni sebagai cara berfikir” yang hendak dicapai adalah mendudukkan ulang, ada upaya untuk mendefinisikan sendiri dalam masalah pertunjukan dalam wilayah kita. Justru yang penting adalah bagaimana mulai dari diri sendiri, ketika di lapangan, selama pengumpulan metode, analisis, dan menuliskannya. Tantangannya adalah ketika sudah dituliskan, bisa mempengaruhi pembaca, bisa juga mendebat temuan yang kita temukan.

Dr. Yusuf, pernah diminta untuk stop dalam mencari dalam proses pembacaan Latar Belakang. Ada kekosongan wacana estetika interaksi, dalam 13 tahun penelitian, belum ada game atau media interaktif yang dibangun dengan konten spiritual, game yang ada di dunia ini, kebanyakan yang menyenangkan, bahkan game-game horor ada, namun yang spiritual belum ada. Dr. Yusuf, menemukan spiritual.

Apa yang bisa disumbangkan, ditawarkan melalui game dalam konsep estetika interaksi, sehingga memperdalam lagi estetika interaksi. Bagaimana game, bisa mendiskripsikan sensasi yang dirasakan, dalam metode yang baru. Sehingga itulah yang menjadi novelty, ternyata ada game, melalui kasus pada karya ini, kita bisa melakukan dengan dibangun dengan konten spiritual. Novelty itu bukan hal yang besar, namun justru setidaknya kita menyumbangkan sesuatu yang belum disadari, belum dijelaskan.

Kunci dari doktoral adalah mengembangkan dari yang belum dituliskan. Pengalaman estetik game, kontemplatasi dinamis, pada game yang diciptakan pada unsur spiritual. Metode dari wacana umum produksi game itu linier, dengan adanya teknologi, ditambah pandemi, akhirnya berubah.

Akhirnya salah satu bisa yang ditawarkan oleh Dr. Yusuf, metode produksi dinamis, bisa saling masuk, siapa dahulu-siapa dahulu. Ini novelty, ini original untuk penelitian ini. Penelitian S3 tidak harus besar, namun harus menemukan konsep-konsep, penjelasan, yang nantinya berjalannya waktu menjadi sebuah teori, begitulah perjalanan sebuah teori, bahkan untuk teori seni.

Temuan, pengembangan, memperkuat, membulatkan kembali, apabila ide yang sama, ada proses penelitian yang kurang dalam dalam melakukan penelitian. Setidak-tidaknya, ada perubahan, atau sanggahan dalam ide tersebut.

Motivasi untuk Doktor adalah awal perjalanan, adalah ketika lulus doktor adalah pengembangan ilmu pengetahuan. Itulah tugas yang harus diemban para lulusan doktoral. Ini merupakan awal, bukan akhir dalam penelitian.

Pilihan metode dalam doktoral, tidak terlalu signifikan perbedaannya. Orang-orang yang menulis tentang metode, teori, yang justru penting adalah bagaimana kita mampu untuk lebih dewasa lagi. Bagaimana kita bisa mengimplementasikan gagasan-gagasan metode tersebut. Seperti orisinalitas, orisinalitas tulisan sendiri, berikutnya, orisinalitas kebaruan hasil penelitian. Tujuan awal Dr. Irfan, merumuskan dari hasil riset yang mirip-mirip, harus ada yang baru dalam ilmu pengetahuan.

Ada beberapa tahapan, setiap penguji akan memberikan masukan. Justru ada masukan untuk metode dan analisisnya, dalam proses studi oleh pembimbing dan penguji. Seminar publik lebih banyak, sampai Tertutup dan Terbuka. Dalam proses penelitian, pembimbing akan mengawal penelitian kita.

Moco, Aksoro, Wicoro, sebagai modal awal untuk menyelesaikan S3. Harus suka membaca, suka menulis, suka untuk berdiskusi. Harus banyak doktor yang lebih kritis, Universitas/Institusi harus menjawab permasalahan di masyarakat. Cintailah apa yang kamu pelajari. Membaca itu keterampilan, konsekuensi logis, kita perlu terampil untuk menulis.

Setiap penulis hebat, terawal dari kebiasaan membaca. Bicara/Wicara, bukan hanya show-off, tentang bicara dari membaca kemudian menafsirkan, kadang akan tidak tersesat, maka harus saling bertukar pikir. Akan melatih untuk berbicara di depan umum. Ada temuan juga akan terbantu. Ada persiapan tiga hal ini, dalam kehidupan kesenian diri yang diajukan untuk doktoral.

Kiat-kiat menemukan tema, topik, sampai pada memilih pembimbing seperti apa?

Memilih promotor dan co-promotor tidak sulit, tapi tidak mudah juga. Melihat pada rumpun yang paling dekat, rumpun keilmuan, apakah masuk ke Seni Rupa atau Media Rekam. Karena game masih masuk pada media rekam, maka memilih game pada bidang rekam, yang ada kemiripan secara rumpun. Secara umum, pengajarnya cukup kompeten, namun tidak semua bisa menjawab bidang kita. Itu yang setiap institusi memiliki kekhususan dalam bidang kita.

Secara personal mumpuni, sudah tau menempatkan untuk setiap tingkatan, ini menggambarkan pengajaran untuk kemandirian S3. Ada Mata Kuliah yang tidak menjembatani Disertasi, seharusnya lebih bisa fokus terhadap concern pada topik yang khusus. Pak Inong dalam membedakan metode dan metodologi antar satu teori dengan teori lain, pendekatan dengan pendekatan lain.

Pak Nardi, mendalami pendalaman terhadap konsep. Tapi semua akan bergantung pada mahasiswa S3 karena dituntut pada kemandirian mahasiswa dalam konstruksi pemikirannya. Ketika S2, ada keterbiasaan dalam diskusi intelektual, komunitas kita penting untuk menciptakan pengetahuan baru.

Promotor dan co-promotor, menuntun untuk eksplorasi ilmu pengetahuan. Bereksperimen untuk masuk ke dunia-dunia baru. Tugas promotor dan co-promotor, memastikan sesuai dengan track penelitian, untuk membantu kita penelitian. Perjalanan proses bimbingan menekankan model-model dosen yang tidak bisa hanya bisa dijawab dengan oke pak, iya pak, malah justru banyak dosen yang bisa didebat mahasiswanya.

Paling tidak, kita harus memiliki pengetahuan, dari pembacaan, penulisan, kita pelajari, yang penting untuk mengembangkan pengetahuan. Cara komunikasi dalam mendebat itu penting. Pemilihan kalimat harus diperhatikan untuk membentuk dinamika diskusi untuk lebih menarik.

Dalam pandemi, Dr. Hery, memilih 90% harus berdikusi langsung, dibandingkan harus daring. Dan melalui hal ini, bimbingan bisa sampai tengah malam. Agar bisa lebih fokus, dan terkonstruksi dengan baik. Lebih mantab untuk ketemu, dibandingkan dengan daring. Promotor dan co-promotor ada banyak bimbingan, banyak yang dibimbing. Ngobrol via online juga tidak menjadi masalah untuk Dr. Irfan.

Ada kesepakatan untuk selalu bertemu, konsekuensi logisnya adalah harus ke Yogya untuk bimbingan. Justru karena pandemi, harus mengubah metode penelitian Dr. Yusuf, dari Virtual Reality (VR) dengan menggunakan banyak alat, dengan berubah ke web based. Kemudian bisa mengamati bagaimana bermain, kemudian melakukan wawancara. Kita harus siap apabila keadaan dalam penelitian harus berubah secara metode.

Kesimpulan

Melalui membaca, menulis, dan berdikusi merupakan modal penting untuk menyelesaikan doktoral di ISI Yogyakarta. Melalui kemauan kuat untuk menyelesaikan studi doktoral ini. Proses doktoral harus menerima diri untuk segala kritik, akan menjadi masalah apabila kita tetep kekeuh dalam pemahaman kita, bidang yang kita pahami.

Keluarga merupakan bagian hidup, bahkan untuk sekolah doktoral sekalipun, maka sebagai doktor harus mengatur waktu untuk belajar, bekerja, dan keluarga. Studi doktoral pasti stress, karena itu bagian dari belajar, dan harus dikelola, yang dilakukan adalah mengelola stress.

Kontribusi doktoral untuk Indonesia akan memiliki tanggungjawab untuk ilmu pengetahuan. Melatih untuk berfikir kritis, agar tidak terbawa arus pada dunia nyamannya, dan bermanfaat untuk masyarakat. Penelitian penciptaan dan pengkajian, bisa kontribusi diterima untuk masyarakat umum, dalam tataran ilmiah.

Masing-masing akan kembali pada doktoral, sebagai tugas utama doktoral adalah berawal dari hal-hal kecil, harapannya memiliki roadmap untuk keilmuan ini dikembangkan pada masa depan. Mungkin bisa menulis dari penelitian-penelitian kita. Hal-hal ideal yang kita bicarakan, filosofis, mengembangkan pengetahuan itu sendiri. Justru hal-hal kecil yang bisa kita sumbangkan.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *