MIRMAGZ.com – Perkenalkan, ini adalah buku garapan ibu muda yang baru kukenal awal tahun 2024. Namanya Claudia Tevy Wulandari. Aku memanggil Beliau dengan sebutan Mba Tevy. Apakah aku mengenalnya? Tidak. Kami berjumpa (itu pun secara virtual) tak lebih dari beberapa kali pertemuan melalui Zoom. Bisa dihitung jari, walau begitu aku tetap lupa berapa frekuensi.
Sejak awal pertemuan, Mba Tevy ragu (seperti yang Beliau tulis sendiri di kata pengantar bukunya) apakah bisa menuntaskan tantangan menulis buku Self-Improvement ini, atau tidak. Faktanya, Mba Tevy berhasil. Beliau bahkan memberiku sebuah kehormatan sebagai salah satu pembaca pertama dan pemberi opini untuk karya hebatnya ini.
Ketika pertama kali membaca tulisan Mba Tevy, aku langsung yakin bahwa dia menulis dengan gaya memoar. Pendekatan menulis ini sangat disenangi dan diprakarsai Editor sekaligus CEO penerbit buku kami, Mas Ngadiyo alias Mas Dio. Bahasa sederhananya, “Pantesan Mas Dio jatuh hati dengan tulisan Mba Tevy, wong tulisane apik banget, menyentuh hati dan mencitrakan seorang memoaris sejati”.
Menulis memoar hakikatnya tak sekadar menceritakan pengalaman hidup saja. Namun, suatu nilai, suatu hikmah yang tersembunyi di balik pengalaman itulah yang dikuak oleh penulis dan menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk dibagi.
Buku ini menceritakan bagaimana perjalanan sebagai ibu justru dimulai dari peran sebagai anak. Semua yang diterima kala sebagai anak bisa berwujud menjadi kotak harta karun atau kotak tak terduga setelah seorang perempuan menjadi ibu. Bagaimana dulu seorang anak perempuan menerima perlakuan dari orangtuanyalah yang akan mencerminkan dia nanti sebagai ibu. Ada pembaca yang relate? Ada juga yang tidak. Bukan masalah besar.
Kebetulan, perjalanan belajar ibu yang satu ini berawal dari proses sebagai anak. Dengan runtut, Mba Tevy menuturkan proses belajarnya sejak menjadi anak perempuan sampai membentuk dirinya saat ini.
New Mom, Stress but Happy juga bisa dikatakan sebagai bukti dari betapa kuatnya praktik patriarki di tanah air. Semua beban (tak hanya urusan anak) dibebankan kepada perempuan. Padahal, bukankah berumah tangga melibatkan peran suami juga? Tapi kenapa soal domestik dan anak-anak hanya dititikberatkan pada perempuan?
Saya pribadi setuju bahwa perempuan memang ‘sekolah pertama’ bagi anak-anaknya. Namun, bukan berarti para ayah bebas tugas termasuk tidak berperan dalam mendidik anak, apalagi tidak membantu urusan domestik. Lebih dari itu juga, perempuan butuh meningkatkan kemampuan, keahlian atau kecakapan yang mendukungnya supaya bisa “diandalkan” menjadi pendidik pertama anak-anaknya. Seperti sekolah di jenjang yang lebih tinggi, ikut pendidikan khusus, kursus yang diminati, dan sebagainya. Semua kegundahan itu lebih kurangnya juga dipaparkan Mba Tevy di dalam karyanya ini.
Semakin kubaca, tulisan Mba Tevy semakin membuatku bertanya-tanya khususnya tentang bagaimana diriku sebagai ibu muda (juga). Apakah aku sudah mencerminkan perempuan yang benar-benar belajar menjadi ibu, atau jangan-jangan aku kebanyakan mengeluh saja?
Akan tetapi, aku lebih bertanya-tanya lagi, apakah para ayah atau lelaki muda sudah ada yang membaca dan memahami tulisan ini? Karena tulisan ini sebenarnya akan jauh lebih berdampak jika dibaca banyak kaum lelaki. Supaya, ya… setidaknya mereka mengerti bahwa menjadi ibu sebenarnya tidak serta merta tugas individu ibu seorang. Perempuan ingin dimengerti? Benar, dengan cara yang tepat pula. Seperti ini contohnya. Bukankah membangun rumah tangga dijalankan bersama suami? Kenapa kewajiban menjadi orangtua, mendidik anak, dan mengurus rumah hanya dibebankan kepada perempuan saja?
Food for thought!
Miranti Kencana Wirawan. Content Writer. Alumnus Kajian Timur Tengah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Founder dan Editor in Chief situs web Mirmagz.com. Pernah bekerja di RIA FM Sonora Network dan KOMPAS.com sebagai jurnalis kanal internasional.
