MIRMAGZ.com – Bukankah sangat menarik ketika kau membaca kisah kegilaan-kegilaan di bawah naungan sang diktator dan kau bingung hendak menangis atau tertawa!
Terkadang, saat membaca buku ini aku ingin menangis meski di saat yang sama aku juga ingin tertawa. Menurutku, momen ketika kita hendak tertawa dan menangis adalah momen terhebat yang pernah terjadi dalam psikis manusia. (Kapan-kapan aku akan cerita alasan mengapa hal ini kusebut hebat).
Secara psikologis aku merasa membaca karya #péterzilahy ini cukup mengaduk-aduk perasaan. Juga alam khayal atau imajinasi. Pasalnya, pembaca diajak mengikuti apa yang menjadi memoar penulis selama dia menikmati proses dan peristiwa kehidupan yang dia catat. Khususnya yang bersentuhan keras dengan sejarah bangsanya dan bangsa-bangsa lain. Serta hal paling mendasar yakni kemanusiaan.
Secara struktur, novel ini tidak mengikuti pakem novel pada umumnya Karena diramaikan dengan beragam foto jurnalistik karya Zilahy sendiri. Susunannya pun mengacu pada abjad Hungaria yang ‘mengantar’ anak-anak Hungaria melalui ablak (jendela) dan kembali menggunakan zsiraf (jerapah). Susunan cerita yang unik, bukan?
Yang paling membuatku senang ketika membaca novel ini adalah gagasan Zilahy yang selalu menemukan benang merah walau sudah melantur ke mana-mana. Bagaimana bisa seseorang menulis dengan sekreatif itu dan kembali pada jalur utama dia menulis ide tulisannya?
Kedua, karena karya ini seperti memoar yang benar-benar dialami sang penulis maka alurnya sangat mengalir dan tidak menghakimi walau memuat unsur-unsur sejarah. Tulisan di dalam novel ini memiliki semangat nasionalis yang kental dan juga kekocakan manusia di tengah hempitan keputusasaan. Setidaknya itu yang aku tangkap. Semangatnya bahkan berhasil menginspirasi gerakan revolusi orange atau orange revolution di Ukraina.
Aku juga senang ketika membaca curahan Zilahy yang ‘ngalor-ngidul’ apalagi ketika dia menambahkan kenangan masa kecil di tengah gempuran detik-detik tumbangnya sang diktator. Tentang mimpi-mimpinya yang tidak pernah selesai atau memiliki akhir yang jelas. Dan lagi-lagi menyusul kepada cerita polisi antihuru-hara, demonstrasi di Belgrade, kisah bangsa Magyar yang berkali-kali dikisahkan seperti bukan orang-orang yang baik. Untuk aku yang pernah bercita-cita menjadi jurnalis etnografis, karya ini sangat memanjakan hati, pikiran dan visual. Secara pemikiran, The Last Window-Giraffe mungkin berhasil menghasut orang untuk bertindak reflektif sekaligus spontan. Juga revolusioner. Dalam hal kepenulisan, novel ini menyuguhkan apa yang selama ini kita ketahui dari sekadar kamus menjadi sebuah kamus yang kompleks beserta makna dan beragam peristiwa.
Aku tidak pandai menafsirkan hal-hal di luar yang sudah kubahas. Biarlah kalian membaca sendiri karya ini dan milikilah argumentasi kalian sendiri.
Selamat membaca!
Miranti Kencana Wirawan. Content Writer. Alumnus Kajian Timur Tengah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Founder dan Editor in Chief situs web Mirmagz.com. Pernah bekerja di RIA FM Sonora Network dan KOMPAS.com sebagai jurnalis kanal internasional.