Melebur dan Menggali Makna Diri dalam Ruang Tanpa Nama

Ruang Tanpa Nama

MIRMAGZ.com – Sebelum memberikan pandangan tentang buku “Ruang Tanpa Nama”, izinkan saya terlebih dahulu memperkenalkannya secara singkat. Buku berjudul “Ruang Tanpa Nama” ialah  sebuah karya yang lahir dari dialog  antara duo sahabat spiritual yakni Denny Turner (Denny) dan Pardamean Harahap (Dame). Dialog mereka juga disebut dengan istilah ‘Dialog Suwung’ yang merupakan perjalanan batin keduanya. Secara teknis, buku ini memuat rangkaian diskusi dari dialog 1 sampai dialog 10. Keseluruhan itu pada mulanya dibawakan dalam bentuk instagram live. Percakapan mereka pun akhirnya ditranskrip dan dikemas dalam sebuah buku yang tebalnya lebih dari 200 halaman ini.

Sedikit cerita juga bahwa buku ini saya baca dari perpustakaan Ganesa, sebuah perpustakaan milik pengusaha batik asal Amerika Serikat, Michael Mrowka dan Debra Lunn. Salah satu pengelolanya, Kak Afandi berjumpa dengan saya pada awal Januari 2025. Kak Afandi sedang memilih buku-buku yang hendak ia beli di sebuah toko buku di kota Surakarta. Kebetulan, saat itu saya juga ingin membeli buku terbitan Noura Publishing. Ada tiga buku yang menjadi incaran saya; Dongeng Telepon, Reopening Muslim Minds, dan Ruang Tanpa Nama.

Miranti tidak sengaja berjumpa Kak Afandi. Setelah berdiskusi soal buku, Kak Afandi akhirnya tertarik membeli buku-buku terbitan Noura Publishing.

Ketika berbincang dengan saya, Kak Afandi menyampaikan kalau saya boleh request judul buku yang hendak saya baca di Ganesa Library. Saya akan dihubungi sebagai pembaca pertama dari buku yang saya pilih. Maka, saya jelaskan bahwa saya sedang mencari 3 buku terbitan Noura Publishing berikut judul-judulnya. Saya jelaskan pula bahwa budget yang saya punya rupanya hanya bisa membeli 2 buku; Dongeng Telepon dan Reopening Muslim Minds. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan saya, Kak Afandi pun membeli Ruang Tanpa Nama (juga Dongeng Telepon karena menurutnya sangat unik) dan berjanji akan menghubungi saya begitu data bukunya sudah diinput oleh administrator perpustakaan. Oleh sebab kebaikan beliau, saya juga bermaksud mengucapkan terima kasih. Atas keluasan hatinya itu, saya jadi berkesempatan membaca buku hebat ini di bulan Januari 2025.

Membaca buku ini persis setelah saya menamatkan “Reopening Muslim Minds” karya Mustafa Akyol memberikan suasana yang agak riuh di kepala. Sehingga, ketika membaca beberapa point of view penulisnya, ada suara-suara dari dalam kepala menyahut, “Nah, ini bakal lain ceritanya kalau menurut Akyol! Pasti bakal begini, bakal begitu”. Bukan bermaksud menghakimi atau membanding-bandingkan, hanya menjelaskan betapa otak manusia rupanya mudah sekali terpantik oleh sesuatu yang bertolak belakang. Kenyataannya memang, buku ini (bagi saya) semacam counterpunch untuk karya Akyol tersebut (atau bisa jadi sebaliknya? Kembali pada persepsi masing-masing pembaca). Oleh karenanya, sepanjang membaca karya Pak Denny dan Pak Dame, kepala saya yang penuh hiruk pikuk itu terasa menantang dan asyik sebab terdapat sedikit pergulatan di sana. Perbedaan memang seru. Tidak ada salahnya menerima perbedaan di dalam satu kepala, kan?

Puisi-puisi yang ditafsir dan diejawantahkan oleh Bung Denny tidak selalu sama persis dengan Bung Dame namun memiliki spirit serupa yakni anjuran bagaimana kita sebagai manusia untuk dapat kembali ke akar-Nya. Dari puisi Akha Bhagat, Rumi, Hakim Senai, Frithjof Schwon, Fariduddin Attar sampai haiku-haiku dan puisi Bulleh Shah dibahas dalam buku ini. Setiap penafsiran disertakan juga beberapa contoh empiris dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, pembaca awam akan mudah juga untuk larut dalam tuturan Denny dan Dame yang saling menanggapi satu sama lain. Isu yang diangkat pun mudah ditemukan dalam keseharian, sebagai IRT sekaligus pekerja paruh waktu, beberapa kasus yang diangkat sangat relevan, mudah dibayangkan. Pembaca dari kalangan mana pun, tak harus beragama Islam, sangat bisa menikmati perbincangan mereka yang telah ditranskrip menjadi naskah utuh ini. Salah satu pembaca itu, penulis kenamaan Dee Lestari yang juga turut memberikan rekomendasi kepada khalayak.

Baca juga:  Pemikiran Arnold Hauser - Sejarawan Sosial Seni

Awalnya, saya kira “Ruang Tanpa Nama” akan begitu kaku atau menjemukan. Tapi ternyata sangat mengalir, terasa sekali ‘vibe’ obrolannya. Saya termasuk orang yang jarang sekali mendengarkan instagram live (hampir tidak sempat) bahkan untuk podcast di media sosial lainnya. Namun, dialog live rupanya punya nuansa yang spesial ketika sudah ditranskrip. Menurut saya, percakapannya jadi lebih hidup. Seperti mendengar dialog imajiner yang kapan mau selesai atau mau dimundur ucapannya bisa sesuka hati.  Overall, beberapa catatan penting yang saya garis bawahi (karena mungkin menyentuh titik-titik nadir dalam kehidupan saya pribadi) dari buku ini di antaranya:

1. Pandangan sufistik yang dijadikan dasar-dasar dialog memang mendidik kita untuk menjadi orang yang rendah hati. Mudahnya, sebelum mengoreksi di luar diri, akan lebih utama jua lebih bermakna jika mencari dulu di dalam diri.

2. Definisi kembali ke fitrah. Menurut Pardamean Harahap, fitrah itu kembali ke rumah Tuhan (hlm 113). Ketika membaca penafsiran ini, ada dua suara dari kepala saya. Suara pertama membandingkan dengan definisi fitrah menurut Mustafa Akyol. Sementara suara kedua mengatakan, “Gila, sih. Dari dulu gue mikirnya juga begini. Fitrah ya kembali ke Tuhan. Mau agama apa pun, ya kembalinya ke Pencipta”.

3. Tentang hidup ini hakikatnya ‘laa ilaaha illallaah’, Denny menegaskan bahwa penggunaan akal berlebihan sejatinya telah menduakan Tuhan (hlm 60). Menurutnya, ikhtiar memang perlu tapi dekat kepada Tuhan adalah hal yang paling utama. Sepertinya, Pak Denny ini memang murid tulennya Imam Ghazali sebab pandangan-pandangannya yang begitu berlawanan dengan aliran Mu’tazillah. Di awal buku, Denny Turner memang secara spesifik telah memuji filsuf muslim karismatik yang satu itu.

4. Belajar sufistik itu tidak berhenti pada sajak-sajak atau puisi-puisi tokoh filsuf Islam atau sufistik saja. Namun bisa juga dari karya sastra seperti haiku yang secara makna mampu mengikat kehadiran Tuhan. Dengan menerjemahkan atau menafsirkan karya sastra sufistik atau pun yang bertemakan ketuhanan, bisa menjadi media bagi manusia berkontemplasi. Kontemplasi sendiri menurut Dame adalah sadar. Dengan ‘sadar’ kita bisa menerima apapun yang kita hadapi tanpa perlu berlarut-larut di dalamnya.

Secara keseluruhan, inti yang saya tangkap dari buku ini adalah ‘kembali ke akar, di mana manusia itu semestinya tumbuh dan berkembang sesuai fitrahnya’. Makna dari dzikrullah sampai bagaimana seharusnya Tuhan diposisikan juga dibahas dalam buku ini. Menurut saya, buku ini bisa dikatakan sebagai salah satu pengantar yang baik pada pemikiran dan pembelajaran tasawwuf. Buku ini juga sangat bagus dibaca oleh siapapun yang tengah menghadapi krisis kepercayaan diri ataupun situasi yang serba ‘mepet’ karena kontennya menyuguhkan pemikiran segar tentang pembebasan diri dalam mencapai Tuhan. Bukankah semua orang menghendaki dirinya sebagai seorang ‘mardhiyyah’? alias orang yang diridhai? Tabik!

(Ulasan ini diikutsertakan dalam Event Noura Vaganza Reading Marathon dan Review Buku 13 Tahun Noura Publishing 2025. Selamat ulang tahun, Noura!)

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *