MIRMAGZ.com – Satu hal yang membuatku langsung tertarik membaca Dongeng Telepon adalah penjelasan bahwa semua kisah ajaib ini disampaikan oleh seorang ayah kepada putrinya. Kisah itu tidak mengalir di atas sofa yang hangat atau kasur yang nyaman. Kisah-kisah ajaib itu lahir melalui sambungan telepon koin yang terbatas waktunya. Saking banyaknya cerita itu malam demi malam, operator telepon bahkan sampai menunda panggilan supaya mereka bisa ikut menyimak. Tuan Bianchi sendiri mungkin juga tergopoh-gopoh saat harus menyampaikan dongeng demi putri tersayangnya (ini sih khayalanku saja). Pokoknya, tak terbayangkan betapa hebat dan kreatifnya Tuan Bianchi! Buku ini kubaca pertama kali saat naik kereta ke Jakarta sebelum akhirnya kubacakan untuk kedua putriku. Sejak awal berjumpa buku ini sudah cukup membuatku mengatakan, ‘ini bakal jadi bacaan yang hangat’. Dan ternyata, memang benar adanya dan bahkan, lebih dari itu.
Terdiri dari 71 cerita pendek (dan beberapa kisah bisa juga disebut prosa serta sajak), Dongeng Telepon menghadirkan kumpulan pergulatan pemikiran manusia dewasa yang dikemas dalam gaya bercerita untuk anak. Sekilas, buku ini mengingatkanku pada Le Petit Prince atau Pangeran Kecil karya Antoine de Saint-Exupéry. Kesamaan mereka mungkin pada cara penulis menyampaikan maksud atau pesan menggunakan kondisi tempat penceritaan yang sureal. Tidak mudah untuk mengetahui secara pasti di mana dan kapan tepatnya sebuah peristiwa terjadi tanpa membaca atau mencari tahu catatan di luar buku ini.
Namun, apa sih sebenarnya yang paling berkesan dari membaca buku bergaya cerita untuk anak-anak? Bagiku, tentu saja tentang pesan yang disampaikan tak terdengar menggurui atau berusaha menggantikan sebuah pemikiran secara mendasar. Mungkin karena penulisnya, Gianni Rodari sudah lama berprofesi sebagai jurnalis maka tulisannya sangat lugas dan mengalir. Buku ini kubaca hampir tiap malam dan juga saat tidur siang bersama kedua putriku. Yang sulung, Lyubov namanya. Masih duduk di bangku TK baru saja lancar membaca sehingga begitu besar kemauannya untuk membaca dongeng ini bersamaku. Setiap habis satu cerita putriku akan memberikan komentarnya secara spontan. Begitu pun ketika kami selesai membaca cerita tentang ‘Tonino yang Tak Terlihat’ (halaman 159). “Aku suka cerita Tonino. Aku mau jadi Tonino kalau sedang bosan di sekolah!” tukasnya.
Ya, belakangan ini putri sulungku curhat kalau di sekolah sering mendapat perlakuan kurang nyaman dari beberapa temannya. Dia juga sering bertanya padaku, “apakah boleh kalau bermain sendiri di sekolah?” Lalu, sebagai ibu yang sebenarnya sedih mendengar pertanyaan itu mencoba menjawab dengan tenang, “Bermain sendiri tentu lebih asyik. Kita bebas berkreasi sesuai keinginan kita, kan?” dan putriku mengangguk. Dia juga menjelaskan kenapa dia suka dengan gagasan Tonino yang berharap tak terlihat. Kali ini penjelasannya sedikit lebih membuatku tenang. “Kalau aku bisa tak terlihat, aku juga akan pergi ke toko permen dan roti juga, Mi! Akan kulahap semuanya! Tapi aku nggak mau lama-lama nanti aku kangen mami,” ujar Lyubov sembari memelukku.
Dan hei! Lyubov juga sangat suka dengan semua ilustrasi di buku ini. Ilustratornya, Simona Mulazzani adalah peraih gelar ilustrator terbaik dalam Andersen Award, sebuah penghargaan bergengsi di Italia. Lyubov kebetulan suka sekali menggambar dan mewarnai (hari Jumat 24 Januari kemarin Lyubov bahkan baru menang Juara 3 mewarnai, oops sorry! I am a proud mommy). Baik dari cover maupun isiannya, ilustrasi Dongeng Telepon berhasil memikat hati pembacanya. Termasuk Lyubov! Salah satu ilustrasi yang dipandanginya lekat (lama betul sampai-sampai dia tertidur) adalah gambar hidung pada cerita ‘Hidung yang Kabur’ (halaman 109). Sebelum dipandanginya sampai selama itu, Lyubov tertawa lepas. Karena menurutnya hidung yang kabur itu akan raib sebab Giovannino Perdigiorno akan mengambilnya, “Giovannino kan suka banget sama hidung ya, Mi?”
Sementara itu, putriku yang masih kecil usianya baru 3 tahun. Belum sempat kutanya mana cerita yang ia suka, gelagatnya sudah menunjukkan itu semua saat bermain sebab dia langsung memperagakannya! “Mami, yihat! Ini jayan cokyat! hmm.. slurp… slurp… Mayyam suka jayanan ini!” (Mami, lihat! Ini jalanan coklat! hmm… slurp.. slurp… Maryam suka jalanan ini!”
Pada kesempatan lain, Maryam bahkan menyolek punggungku dan bertanya, “Mami, di mana pak tua yang bawa biskuit itu?” Mendengar itu aku sempat bingung sejenak. Aku jawab, “Sebentar, mami ingat-ingat dulu.” Dia lalu menjelaskan dengan gerakan seperti sedang menarik gerobak. Aku pun baru ingat, bahwa dia masih melanjutkan cerita ‘Jalan dari Coklat’ dan berandai-andai si petani lewat dengan gerobak biskuitnya. Aduh, aku sampai terpingkal-pingkal! Padahal, Maryam masih batita. Dia hanya mendengarkan dongengku (yang memang kusampaikan dengan penuh ekspresif). Aku tak menyangka bahwa cerita ‘Jalan dari Coklat’ (halaman 59) menjadi favoritnya sampai-sampai diperagakan ketika bermain sendirian.
Lalu, bagaimana dengan cerita favoritku? Sebenarnya aku paling suka cerita ‘Membeli Stockholm’ (halaman 65) dan ‘Sejarah Dunia’ (halaman 256/terakhir) karena keduanya memiliki spirit perdamaian juga persatuan yang sama dengan lagu favoritku “imagine” gubahan John Lennon. Walau begitu Aku tidak menyangka bahwa aku akan meneteskan air mata (literally air mata!) ketika membaca ‘Perang Lonceng’ (halaman 94). Meski akhir dari cerita itu menggambarkan suatu kedamaian, aku tak mengerti kenapa manusia gemar menciptakan penderitaan. Bisa jadi karena aku sedang membaca tulisan-tulisan warga Gaza Palestina, sehingga ikut hanyut dalam perasaan. Ketika membaca kata ‘perang’ saja langsung teringat kengerian itu. Dan uniknya adalah bagaimana Tuan Gianni Rodari menyelesaikan kisah itu dengan sangat humanis. Semua lonceng dilebur, dilelehkan untuk dibikin menjadi meriam lonceng. Bukan timah panas bukan pula api yang menyembur untuk melawan musuh tapi bunyi lonceng yang memekakkan telinga. Akhir dari kisah perang ini berujung damai. Dalam hatiku, andai saja semua nestapa dunia akibat perang bisa dilebur semudah itu… Ah, betapa bermaknanya hidup ini!
Dongeng Telepon pada akhirnya telah menjadi kawan baru yang baik bagi kami. Tak hanya mampu mengantar tidur, karya sastra ini juga hadir sebagai perantara, teman berdiskusi antara aku dan dua putriku. Lebih dari itu, kisah ini begitu hangat, seakan-akan Tuan Bianchi adalah ayahku sendiri dan aku sedang menikmati dongeng yang dibacakan ayahku tiap malam. Ya, dongeng itu berisi cerita-cerita yang tak pernah ayahku sampaikan ketika aku masih kecil. Wahai putri Tuan Bianchi, kamu beruntung sekali!
(Ulasan ini diikutsertakan dalam Event Noura Vaganza Reading Marathon dan Review Buku 13 Tahun Noura Publishing 2025. Selamat ulang tahun, Noura!)
Miranti Kencana Wirawan. Content Writer. Alumnus Kajian Timur Tengah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Founder dan Editor in Chief situs web Mirmagz.com. Pernah bekerja di RIA FM Sonora Network dan KOMPAS.com sebagai jurnalis kanal internasional.