MIRMAGZ.com – Pernah suatu ketika saya berdiskusi dengan seorang kawan tentang mazhab yang saya anut. Dia bertanya begitu karena mungkin merasa lebih tahu, merasa dia anak kyai, pendidikan agamanya tidak tanggung-tanggung baik di dalam maupun di luar negeri. Kebetulan berdasarkan semua yang melekat pada kawan saya itu, saya sempat kagum padanya dan sepertinya dia tahu. Sehingga, pertanyaan dia soal ‘apa mazhab’ saya seakan-akan menjadi sebuah filter; apakah saya layak atau tidak jika menjadi pasangannya.
Usai saya jawab pertanyaannya, dia pun memberitahu saya apa yang ia yakini dalam keimanan Islamnya termasuk cara berpikirnya yang ternyata berasal dari kaum Asy’ariyah. Dia lalu melanjutkan bahwa begitu banyak perbedaan (khususnya soal penalaran) antara dia dan saya yang kemudian menyimpulkan bahwa saya (setidaknya menurut pandangannya) tidak bisa beriringan. Kami masih menjadi kawan baik walau percakapan kala itu cukup sensitif.
Membaca bab-bab awal tulisan Mustafa Akyol tentang perselisihan kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah dalam bukunya Reopening Muslim Minds membuat saya tertawa karena teringat peristiwa itu. Sejak diskusi itu, saya jadi berpikir-pikir kembali. Apakah saya sudah berislam dengan tepat. Apakah salah jika saya mendahulukan rasionalitas dan mengunggulkan toleransi di atas segalanya. Terutama pada hal-hal yang tidak bisa saya ubah? Jujur, tumbuh besar di kalangan praktisi agama yang campur aduk turut mengaduk pemikiran saya dari konservatif sampai sedikit lebih moderat hingga agak liberal.
Selama membaca tulisan Akyol yang membedah perseteruan awal antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, saya juga sadar betul bahwa pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah, di rumah-rumah memang sangat ortodoks. Apalagi kalau sudah membahas baik atau buruk sesuatu. Sebab bahasan seperti inilah saya kerap berselisih paham dengan ibu saya sendiri sejak saya kecil. Pasalnya, saya selalu menawarkan gagasan bahwa dalam mendefinisikan apa pun termasuk baik-buruk, benar-salah, itu haruslah memiliki alasan di sebaliknya. Saya rasa, bukan saya seorang yang dibesarkan dengan berbagai aturan dan perintah yang rujukannya dalil; ayat Alquran dan Hadis. Seakan-akan semuanya telah dan cukup dilihat melalui dua warisan itu saja. Jika memang begitu, bagaimana agama Tauhid ini sebelumnya bisa berkembang tanpa adanya Alquran dan Hadis yang baru hadir sejak lahirnya Islam? Ada seorang mubaligh yang pernah saya debat seperti itu namun ujung-ujungnya membuat saya kena kafarat membersihkan masjid dan kamar mandi. Ya, saya pernah menjalani pendidikan agama seperti itu saat saya lulus sekolah dasar. Dan karya Akyol ini membuat saya menjadi teringat akan kenangan-kenangan itu.
Tantangan hidup dalam beragama terus bergulir, buku Reopening Muslim Minds menyuguhkan pandangan agar umat Islam mau kembali ke nalar, kebebasan dan bertoleransi. Akyol memberikan pandangannya terkait lingkup beragama ini seperti pentingnya meninjau kembali cara berpikir kita yang ia kutip dari intelektual Arab, Edward Said. Di dalam karyanya, Akyol memang banyak mengutip berbagai sumber dan pemikiran tokoh intelektual, baik muslim maupun non-muslim untuk menghadirkan gambaran utuh atas solusi yang dia tawarkan. Di dalam karya yang cukup tendensius ini pula, Akyol mengajak pentingnya mengkaji ulang okasionalisme yang dikatakan seorang profesor sejarah Ahmad Dallal, “…menghambat sains dalam Islam klasik”. Oleh karenanya ia pula menyinggung bagaimana kejayaan Islam di era Abbasiyah bisa berkembang termasuk juga bagaimana runtuhnya. Dan bagaimana keruntuhan itu membawa keironisan tersendiri sampai sekarang. Sampai di mana pemikiran Asy’ariyah begitu mengakar dan menjadi “tulang punggung’ mazhab Sunni yang kita (kebanyakan) jalani hari ini.
Mustafa Akyol rupanya betul-betul melakukan penelitian mendalam akan hal ini. Dia sampai membuat bab khusus tentang tokoh Ibn Rusyd, bagaimana sejarah membuktikan bahwa agama dan sains dapat beriringan. Bahwa “dengan mengorbankan akal, kita akan gagal untuk memahami sifat hakikat segala sesuatu, sehingga kita pasti akan mengalami kemunduran” (halaman 168). Akyol juga memberikan ‘pukulan-pukulan telak’ atas pemahaman bahwa ‘dengan mengoptimalisasikan nalar dan akal maka manusia akan jauh dengan agama (Tuhan)’.
Reopening Muslim Minds diawali dengan pengalaman intrinsik penulis serta kisah epik Hayy ibn Yaqzhan (sang manusia yang tersadarkan karena menggunakan akal dan penalarannya), dijabarkan di tengahnya dengan mengulas sosok Ibn Rusyd, dan ditutup dengan epilog yang begitu keren. Satu hal yang ingin ditekankan Akyol adalah keragaman pola pandang akan Islam yang terus bergulir (sifatnya dinamis) dan tidak ada salahnya kita hidup di tengah keragaman itu. Meski tulisannya sedikit provokatif, dia tidak bermaksud mengesampingkan pemikiran arus utama yang berlaku hari ini dan menggantinya dengan apa yang ia yakini. Dia hanya mengingatkan bahwa yang terpenting adalah kita tidak terpecah dan mengkafirkan satu sama lain hanya sebab alasan fundamental kita berpikir dan beragama berbeda. Terutama jika agama sudah dijadikan alat kuasa pada setiap monopoli politik pemerintahan. Menurut pembacaan saya, karya Mustafa Akyol ini sangat pantas untuk diapresiasi dan direnungkan. Sebab kenyataannya itulah masalah-masalah kita hari ini (dan mungkin bisa jadi) akan terus sama jika tidak kita mulai bedah dari diri kita sendiri. Food for thought!
(Ulasan ini diikutsertakan dalam Event Noura Vaganza Reading Marathon dan Review Buku 13 Tahun Noura Publishing 2025. Selamat ulang tahun, Noura!)
Miranti Kencana Wirawan. Content Writer. Alumnus Kajian Timur Tengah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Founder dan Editor in Chief situs web Mirmagz.com. Pernah bekerja di RIA FM Sonora Network dan KOMPAS.com sebagai jurnalis kanal internasional.