MIRMAGZ.com – Drama pemerintahan Islam pada masa Abbasiyah dipimpin pertama kali oleh Khalifah Abu Al-Abbas (750-754) berlokasi di Irak dan dinobatkan di Kufah, dengan julukan Al-Assafah atau yang berarti penumpah darah.
Al-Assafah berdiri sebagai dinasti Islam ketiga setelah Khulafa al-Rasyidun dan Dinasti Umayyah. Pemerintahan Abbasiyah berjalan dari tahun 750 M hingga 1258 M dan dipegang terus oleh keturunan Abu Al-Abbas meski mereka tidak sepenuhnya berkuasa.
Ketika merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengeklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati khalifah yaitu gagasan negara teokrasi yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah.
Dan sebagai bentuk khas keagamaan di dalam Dinasti Abbasiyah mereka mengenakan jubah (burdah) khususnya ketika mereka berada di beberapa kegiatan seremonial, dinobatkan sebagai khalifah dan ketika salat Jumat.
Mereka memiliki doktrin bahwa kekuasaan selamanya dipegang oleh orang Abbasiyah hingga akhirnya diserahkan kepada Isa (sang juru selamat) dan berteori bahwa jika kekhalifahan ini hancur maka dunia akan chaos.
Kenyataannya, Dinasti Abbasiyah memang memiliki perubahan keagamaan yang lebih nyata dibandingkan dengan Khalifah Baghdad yang ternyata sama sekulernya dengan Khalifah Damaskus yang telah mereka gulingkan.
Jika dibandingkan pula, Dinasti Abbasiyah terdiri dari masyarakat heterogen atau mencakup internasional sedangkan dulu Dinasti Umayyah terdiri dari orang Arab saja.
Namun, hal ini bukan berarti memuluskan segalanya. Banyak negara yang hanya mengakui keberadaan dinasti ini sebagai formalitas saja, dan salah satu ibu kota masa Dinasti Umayyah di Irak yaitu Wasit enggan mengakui pemerintahan Abbasiyah selama sebelas bulan.
Namun aliansi keluarga Abbasiyah dan pendukung Ali yang menguat terutama karena kebencian yang sama terhadap lawan tangguh mereka tidak dapat bertahan lama. Sebab khawatir terhadap para pembelot dan para pendukung Ali di Kufah, Al-Saffah membangun kediamannya di Hasimia (diambil dari nama Hasyim, leluhur keluarga itu) di Anbar.
Ada pun Baghdad juga dihindari sebab sama seperti Kufah, tidak cocok dijadikan sebagai pusat kerajaan. Di ibu kota yang baru didirikan itulah Al-Assafah mengembuskan napas terakhirnya (754) sebab penyakit cacar air yang dia derita.
Dan usianya saat itu masih sekitar 30 tahun. Sejak wafatnya Al-Assafah, Abbasiyah dipimpin oleh Abu Ja’far (754-775) di mana dia mendapatkan julukan Al-Manshur. Sebenarnya dia-lah yang menjadi pemimpin Abbasiyah sebenar-benarnya sebab pembangunan banyak terjadi di pemerintahan Al-Manshur.
Namun, dalam History of The Arabs, Hitti menjelaskan;
Bagi para pendukung Ali, khalifah-khalifah Abbasiyah adalah orang yang merebut kekhalifahan dan khalifah yang sah adalah para imam yang berasal dari keturunan Ali dan Fathimah.
Namun para pendukung Ali selalu menjadi ganjalan dalam perpolitikan Islam dan bersikeras mengeklaim bahwa para imam mereka adalah pewaris kepemimpinan Nabi dan merupakan pancaran khusus cahaya Tuhan.
Hal tersebut merupakan salah satu fenomena yang terjadi di pemerintahan Al-Manshur termasuk ketika Persia yang terkenal sebagai tempat terjadinya sentimen nasional antara Zoroaster dan Mazdak Kuno setidaknya berhasil ditangani dan diamankan untuk sementara waktu.
Al-Manshur menempati Hashimia pada 762 M dan membangunnya antara Kufah dan Hirah. Dia meletakkan batu pertama untuk ibu kota baru di Baghdad yakni tempat lahirnya sebuah kisah legendaris yaitu Seribu Satu Malam dengan tokoh utama mereka, Syahrazade.
Ada beberapa alasan mengapa Al-Manshur membangun di kawasan Baghdad sebab daerah itu tempat markas militer yang sangat baik, dilintasi sungai Tigris sehingga bisa berhubungan dengan Tiongkok, mengeruk hasil laut dan hasil-hasil makanan dari Mesopotamia, Armenia dan sekitarnya, juga terdapat sungai Efrat yang memungkinkan penduduk di sana mendapatkan semua hasil bumi Suriah, Raqqah dan sekitarnya.
Dia membangun kota itu selama empat tahun dan menghabiskan biaya sebesar 4.883.000 dirham serta mempekerjakan sekitar seratus ribu arsitek, pengrajin dan buruh yang berasal dari Suriah, Mesopotamia dan daerah lain yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan.
Akhirnya, menjadi kota dengan julukan Madinah As-Salam (kota kedamaian), sebuah kota dengan nama resmi kota Al-Manshur.
Kota itu berbentuk melingkar sehingga dijuluki pula dengan kota lingkaran (al-mudawwarah) dengan dinding berlapis dua, parit yang dalam dan dinding ketiga setinggi 90 kaki mengelilingi kawasan utama.
Itulah salah satu hasil kerja di masa pemerintahan Al-Manshur dalam membangun kotanya. Sebelum wafat, Al-Manshur membangun istana lain yang disebut Qashr Al-Khuld (Istana Keabadian) disebut demikian sebab difilosofikan bisa menandingi kebun-kebun di Surga (QS 25:15-16) serta di bagian utaranya dibangun istana Al-Rushafah (titian) untuk putra mahkota, Al-Mahdi.
Disarikan dari Philip K Hitti, History of The Arabs. Jakarta, 2008, penerbit Serambi.
Miranti Kencana Wirawan. Content Writer. Alumnus Kajian Timur Tengah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Founder dan Editor in Chief situs web Mirmagz.com. Pernah bekerja di RIA FM Sonora Network dan KOMPAS.com sebagai jurnalis kanal internasional.