MIRMAGZ.com – Buku Nawal yang pertama kali saya baca berjudul Perempuan di Titik Nol. Bukan karena saya sudah tahu buku itu atau saya pernah tahu siapa Nawal. Saya mulanya buta tokoh Sastra dari dunia Arab sama sekali.
Saat itu saya tengah memasuki semester 4 kuliah di jurusan Sastra Arab, menjumpai mata kuliah pengantar ilmu penerjemahan yang dibimbing oleh dosen saya yang kini tengah menjadi kandidat doktor.
Dosen saya itu menganjurkan kami untuk membaca karya-karya Nawal dan membedah pemikiran feminisnya yang “radikal”.
Selanjutnya, saya jadi keranjingan untuk membaca beberapa karya lain darinya. Saya juga sangat menikmati bukunya, Perjalananku Mengelilingi Dunia yang dalam bahasa Arab kalau tidak salah berjudul “Richlati Chaula Al’aalam”. Saya juga membaca sekilas Walking Through Fire.
Saya jatuh hati pada cara Nawal menulis cerita (karena berbasis dari pengalaman nyata sebagai dokter) meski dalam beberapa perspektifnya soal agama tidak saya sepakati, saya pikir itu murni perbedaan subyektif.
Saya juga punya beberapa pandangan yang sama dengan Nawal soal rumah tangga dan loyalitas. Serta bagaimana perempuan punya peran sangat penting di lingkungan masyarakatnya.
Melalui peran itu, perempuan berhak melakukan apapun yang ingin ia lakukan selama bertujuan baik dan juga berhak untuk tidak melakukan apapun. Bahkan untuk pergi ke mana saja, meski tak bersama pendamping (suami) perempuan berhak untuk melangkah.
“She is free to do what she wants, and free not to do it”,
Nawal El Saadawi, Woman at Point Zero.
Nawal El Saadawi dikabarkan tutup usia pada Minggu (21/3/2021) di usia 89 tahun. Kematiannya dikonfirmasi oleh Menteri Budaya Mesir, Inas Abdel-Dayem dengan tidak menyebutkan penyebab kematian. Meski begitu, menurut beberapa media nasional Mesir, Nawal meninggal dunia karena telah menderita sakit dalam waktu yang cukup lama.
Sekilas tentang Nawal El Saadawi
Perjalanan Nawal sebagai Psikiater dan sosiolog mengantarkannya pula sebagai penulis, bahkan jurnalis dan etnografer jika bisa dibilang begitu. Ia lahir di Kafr Tahla, sebuah desa kecil pinggiran kota Kairo, Mesir pada 1931.
Nawal tinggal dan besar bersama orangtua dan delapan saudaranya di lingkungan tradisional. Pada 1955 ia terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Kairo dengan bidang pendidikan Psikiater. Karier pertamanya sebagai Direktur Kesehatan Umum Kairo mengenalkan Nawal pada suaminya, dokter Sherif Hetata, meski pria itu bukanlah suami pertama Nawal.
Melansir The New York Times, pada awal usianya yang ke-80 tahun, Nawal menceraikan Hetata, suami ketiganya. Hetata diketahui telah menikah dengan Nawal selama 46 tahun dan mendampingi Nawal sebagai penerjemah banyak bukunya ke dalam bahasa Inggris.
Nawal bercerai dengan Hetata setelah mendapati suaminya itu berselingkuh.
“Sebelumnya saya sudah menceraikan 2 suami saya, dan ketika suami ketiga ini melanggar hak saya, saya juga menceraikannya dan menolak tinggal bersamanya,” ujar Nawal dikutip The New York Times (21/3/2021).
Nawal telah menerbitkan karya tulisannya kurang lebih sebanyak 27 buku yang secara umum merepresentasikan kehidupan sosial masyarakat perempuan Arab khususnya Mesir.
Atmosfer yang diangkat Nawal dalam karya-karyanya meliputi hak-hak perempuan, seksualitas, serta kesamaan derajat. Hal-hal yang umumnya dianggap tabu oleh masyarakat Islam terlebih di Mesir.
Karya-karyanya dianggap terlalu berbahaya dan mencemarkan pemikiran perempuan di masanya. Karena dinilai kontroversial, banyak karyanya yang dimusnahkan di negaranya sendiri. Mengingatkan kita pada sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang berkali-kali dicekal pada rezim Soeharto.
Setelah karya pertamanya yang berjudul Women and Sex muncul kembali setelah hampir 2 dekade mendekam di Mesir karena argumen feminis yang dikemukakannya, Nawal kehilangan pekerjaannya di tahun 1969, (sumber lain mengatakan tahun 1970).
Buku tersebut dilarang oleh otoritas politik dan agama di Mesir sebab mengandung perlawanan terhadap Female Genital Mutilation atau sunat kelamin perempuan serta masalah seksual dan penindasan.
Tak sampai di situ, majalah Health yang ia pimpin selama kurun tiga tahun ditutup pada 1973 dan ia resmi masuk penjara di bawah pemerintah Sadat pada bulan September 1981.
Memang, seorang penulis besar takkan kehilangan hasrat untuk hidup. Ia menulis buku berjudul Memoar dari Penjara Perempuan pada gulungan kertas tisu toilet dan pensil alis yang ia dapatkan dari seorang perempuan muda di bangsal pelacur.
Ia bebas pada 1982 dan setahun sesudahnya ia menerbitkan memoar tersebut sebagai serangan baliknya terhadap pemerintah Mesir kala itu.
Sebagai seorang feminis, Nawal tak pernah mundur dari apa yang sudah ia lakukan. Bahkan ketika ia menerbitkan memoarnya, ia mengungkapkan betapa ia lebih memilih menempuh hidup yang sulit dan mungkin penuh teror dari pada menyerah begitu saja pada rezim.
Tekadnya untuk mengungkapkan ketidakadilan di negaranya ingin selalu ia kobarkan. Hal ini tertuang dalam pernyataannya dalam Memoirs from the Women’s Prison,
When I came out of prison there were two routes I could have taken. I could have become one of those slaves to the ruling institution, thereby acquiring security, prosperity, the state prize and the title of ‘great writer’, I could have seen my picture in the newspapers and on television.
Or I could continue on the difficult path, the one that had led me to prison… Danger has been a part of my life ever since I picked up a pen and wrote. Nothing is more perilous than truth in a world that lies.
Nothing is more perilous than knowledge in a world that has considered knowledge a sin since Adam and Eve… There is no power in the world that can strip my writings from me.
Bagaimana pun, Nawal selalu berada dalam zona ancaman. Ia hidup dalam tekanan sebagai tahanan politik negaranya sendiri. Usai dipenjara pada era Anwar Sadat, pada 1990-an, karena mengkhawatirkan nasibnya sendiri di Kairo, Nawal hidup dalam pengasingan di Universitas Duke di Carolina Utara, Amerika Serikat (AS).
Lalu, pada awal dekade abad 21, dia menghadapi tantangan lain dari otoritas Islam di Mesir yang menuduhnya telah murtad dari agama. Hal itu sebenarnya dianggap cukup logis mengingat Nawal kerap mengkritik praktik haji dan umrah yang disebutnya ‘warisan dari ritual pagan’.
Selain itu, kritik Nawal tentang wanita-wanita Mesir yang berpakaian seperti wanita-wanita di Barat mau pun mereka yang memakai kerudung juga bisa menjadi alasan mengapa Nawal ‘dimusuhi’ oleh Otoritas Islam negaranya.
Pandangan Nawal tak melulu berfokus pada feminisme, dia juga punya perspektif luas dan mengkritisi penindasan yang berakar pada pemikiran Marxis soal perbedaan kelas, dominasi kerajaan, patriarki, kapitalisme dan fundamentalisme agama.
Mengutip The New York Times, secara gamblang juga mengecam dukungan AS terhadap Israel dengan menyebutnya sebagai suatu aksi ‘terorisme’ yang nyata.
Secara holistik, apa yang dikemukakan Nawal El Saadawi berpusat pada ‘pembebasan dari penindasan’ dan itu banyak dia fokuskan pada nasib kaum perempuan. Bagaimana pun, Nawal telah menjadi salah satu pejuang pionir di negaranya yang terus menyuarakan bahwa perempuan bukanlah ‘seonggok daging’.
“Wanita hanya disorot tubuhnya, ditutupi wajah agama atau ditutupi oleh make-up,” ungkap Nawal dalam sebuah wawancara bertema feminisme.
Selamat jalan, Nawal…
Miranti Kencana Wirawan. Content Writer. Alumnus Kajian Timur Tengah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Founder dan Editor in Chief situs web Mirmagz.com. Pernah bekerja di RIA FM Sonora Network dan KOMPAS.com sebagai jurnalis kanal internasional.