MIRMAGZ.com – Prof. Sardono W Kusumo memberikan gambaran pada Festival Pasca Penciptaan #2. Paparannya tetang seni, sebenarnya adalah mendefinsikan lebih jauh apa itu seni dan apa dampaknya. Apakah tujuan pendidikan seni sekadar menghasilkan karya yang bisa ditonton, dipajang, atau dijual? Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya menjadi inti perdebatan panjang tentang arah pendidikan seni di Indonesia dan dunia.

Selama ini, kita sering diarahkan untuk melihat seni sebagai produk—koreografi di panggung, desain visual, atau karya rupa. Semua itu penting, tetapi terlalu sempit bila seni hanya dimaknai sebagai produk. Sebab, seni sejatinya adalah sistem budaya, sebuah jaringan besar yang melibatkan pengetahuan, spiritualitas, ekonomi, bahkan kesehatan tubuh manusia.
Seni Bukan Hanya Produk, Melainkan Sistem
Mari kita lihat tradisi di Bali. Seorang penari yang tampil dalam upacara adat tidak menerima honor berupa uang, melainkan hadiah berupa ayam, bebek, atau hasil bumi. Bagi sebagian orang modern, itu mungkin dianggap “tidak ekonomis.” Padahal, sistem barter itu justru memperlihatkan bagaimana seni, budaya, dan ekonomi saling terjalin dalam satu ekosistem.
Hal serupa tampak dalam batik. Banyak orang mengira batik adalah soal pola indah di kain. Padahal, kekuatan batik terletak pada materialnya: indigo, pewarna alami yang lahir dari dedikasi manusia untuk merawat alam. Begitu pola dan warna hanya dipandang sebagai komoditas, yang hancur bukan hanya makna batik, melainkan juga sungai-sungai kita yang tercemar limbah.
Pendidikan Seni: Investasi Manusia, Bukan Pabrik Tenaga Industri
Di banyak kampus, mahasiswa seni didorong untuk cepat menghasilkan produk yang bisa dijual. Seolah-olah tujuan utama pendidikan adalah “berapa uang yang bisa kamu hasilkan dari karyamu?”
Padahal, logika seperti itu sangat berbahaya. Industri bergerak cepat. Hari ini seni dipakai untuk kebutuhan iklan, besok digantikan robot dengan kecerdasan buatan. Bila pendidikan seni hanya diarahkan untuk memenuhi industri sesaat, maka yang lahir bukan seniman visioner, melainkan calon pengangguran massal.
Pendidikan seni seharusnya menjadi investasi jangka panjang bagi manusia: membentuk cara berpikir, kepekaan, dan daya cipta yang mungkin hasilnya baru terlihat di masa depan.
Tubuh: Media Utama Seni
Kita sering lupa bahwa media utama seni bukanlah teknologi, melainkan tubuh manusia. Tari, teater, musik tradisi—semuanya bersumber dari tubuh.
Tubuh yang terlatih menjaga aliran darah, metabolisme, bahkan kesehatan otak. Penari yang terus bergerak dan berlatih pernapasan, di usia senjanya bisa tetap bugar, bahkan terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya. Seni bukan hanya ekspresi estetis, melainkan juga cara merawat tubuh dan pikiran.
Inilah yang sering diabaikan dalam pendidikan modern. Kita terlalu sibuk mengajarkan “produk” sehingga melupakan “manusia” sebagai pusat penciptaan.
Seni dan Tantangan Zaman Robot
Kita sedang memasuki era kecerdasan buatan (AI). Banyak pekerjaan digantikan mesin. Bila seni dikeluarkan dari sistem pendidikan, manusia akan terancam menjadi “semi-robot”—hanya mahir menghasilkan produk, tetapi kehilangan daya empati, imajinasi, dan kepekaan.
Justru karena itu, seni harus ditempatkan sejajar dengan sains, teknologi, engineering, dan matematika. STEAM (dengan tambahan “Art”) adalah fondasi agar manusia tidak kehilangan arah dalam menghadapi masa depan.
Seni sebagai Filsafat Hidup
Apa inti dari semua ini? Seni bukan sekadar tontonan, bukan sekadar pola, bukan sekadar industri. Seni adalah filsafat hidup. Ia mengajarkan manusia untuk menjaga alam, menghargai tubuh, membangun relasi sosial, sekaligus melahirkan nilai ekonomi yang berkelanjutan.
Pendidikan seni yang sehat bukanlah pabrik tenaga kerja, melainkan laboratorium kehidupan. Di situlah manusia belajar, berlatih, bereksperimen, dan menemukan cara hidup yang lebih utuh.
Masa depan bukan milik robot atau mesin. Masa depan adalah milik manusia yang sanggup menjaga tubuh, merawat alam, dan memandang seni bukan hanya sebagai produk, melainkan sebagai jalan hidup.

Pemikir, peneliti, penulis, dan pengajar Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada bidang Apresiasi Estetika Visual, telah menyelesaikan gelar Doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.