Seni, Tubuh, dan Masa Depan: Menggugat Pendidikan yang Hanya Mengejar Produk

MIRMAGZ.com – Prof. Sardono W Kusumo memberikan gambaran pada Festival Pasca Penciptaan #2. Paparannya tetang seni, sebenarnya adalah mendefinsikan lebih jauh apa itu seni dan apa dampaknya. Apakah tujuan pendidikan seni sekadar menghasilkan karya yang bisa ditonton, dipajang, atau dijual? Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya menjadi inti perdebatan panjang tentang arah pendidikan seni di Indonesia dan dunia.

Reproduction Mecanism

Selama ini, kita sering diarahkan untuk melihat seni sebagai produk—koreografi di panggung, desain visual, atau karya rupa. Semua itu penting, tetapi terlalu sempit bila seni hanya dimaknai sebagai produk. Sebab, seni sejatinya adalah sistem budaya, sebuah jaringan besar yang melibatkan pengetahuan, spiritualitas, ekonomi, bahkan kesehatan tubuh manusia.

Baca juga:  Belajar Seni dan Mengenal Diri Lewat Liburan ke ARTJOG

Seni Bukan Hanya Produk, Melainkan Sistem

Mari kita lihat tradisi di Bali. Seorang penari yang tampil dalam upacara adat tidak menerima honor berupa uang, melainkan hadiah berupa ayam, bebek, atau hasil bumi. Bagi sebagian orang modern, itu mungkin dianggap “tidak ekonomis.” Padahal, sistem barter itu justru memperlihatkan bagaimana seni, budaya, dan ekonomi saling terjalin dalam satu ekosistem.

Hal serupa tampak dalam batik. Banyak orang mengira batik adalah soal pola indah di kain. Padahal, kekuatan batik terletak pada materialnya: indigo, pewarna alami yang lahir dari dedikasi manusia untuk merawat alam. Begitu pola dan warna hanya dipandang sebagai komoditas, yang hancur bukan hanya makna batik, melainkan juga sungai-sungai kita yang tercemar limbah.

Baca juga:  Festival Pasca Penciptaan #2: Hadirkan 16 Karya Lintas Disiplin di ISI Surakarta

Pendidikan Seni: Investasi Manusia, Bukan Pabrik Tenaga Industri

Di banyak kampus, mahasiswa seni didorong untuk cepat menghasilkan produk yang bisa dijual. Seolah-olah tujuan utama pendidikan adalah “berapa uang yang bisa kamu hasilkan dari karyamu?”

Padahal, logika seperti itu sangat berbahaya. Industri bergerak cepat. Hari ini seni dipakai untuk kebutuhan iklan, besok digantikan robot dengan kecerdasan buatan. Bila pendidikan seni hanya diarahkan untuk memenuhi industri sesaat, maka yang lahir bukan seniman visioner, melainkan calon pengangguran massal.

Pendidikan seni seharusnya menjadi investasi jangka panjang bagi manusia: membentuk cara berpikir, kepekaan, dan daya cipta yang mungkin hasilnya baru terlihat di masa depan.

Baca juga:  Objek-Objek Logika Berfikir Desain

Tubuh: Media Utama Seni

Kita sering lupa bahwa media utama seni bukanlah teknologi, melainkan tubuh manusia. Tari, teater, musik tradisi—semuanya bersumber dari tubuh.

Tubuh yang terlatih menjaga aliran darah, metabolisme, bahkan kesehatan otak. Penari yang terus bergerak dan berlatih pernapasan, di usia senjanya bisa tetap bugar, bahkan terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya. Seni bukan hanya ekspresi estetis, melainkan juga cara merawat tubuh dan pikiran.

Inilah yang sering diabaikan dalam pendidikan modern. Kita terlalu sibuk mengajarkan “produk” sehingga melupakan “manusia” sebagai pusat penciptaan.

Baca juga:  Melihat Ulang Keindahan: Estetika Disabilitas dan Keadilan Visual di Indonesia

Seni dan Tantangan Zaman Robot

Kita sedang memasuki era kecerdasan buatan (AI). Banyak pekerjaan digantikan mesin. Bila seni dikeluarkan dari sistem pendidikan, manusia akan terancam menjadi “semi-robot”—hanya mahir menghasilkan produk, tetapi kehilangan daya empati, imajinasi, dan kepekaan.

Justru karena itu, seni harus ditempatkan sejajar dengan sains, teknologi, engineering, dan matematika. STEAM (dengan tambahan “Art”) adalah fondasi agar manusia tidak kehilangan arah dalam menghadapi masa depan.

Baca juga:  Menumbuhkan Integritas dalam Pendidikan dan Riset: Tantangan dan Harapan

Seni sebagai Filsafat Hidup

Apa inti dari semua ini? Seni bukan sekadar tontonan, bukan sekadar pola, bukan sekadar industri. Seni adalah filsafat hidup. Ia mengajarkan manusia untuk menjaga alam, menghargai tubuh, membangun relasi sosial, sekaligus melahirkan nilai ekonomi yang berkelanjutan.

Pendidikan seni yang sehat bukanlah pabrik tenaga kerja, melainkan laboratorium kehidupan. Di situlah manusia belajar, berlatih, bereksperimen, dan menemukan cara hidup yang lebih utuh.

Masa depan bukan milik robot atau mesin. Masa depan adalah milik manusia yang sanggup menjaga tubuh, merawat alam, dan memandang seni bukan hanya sebagai produk, melainkan sebagai jalan hidup.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp
Telegram

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

https://mirmagz.com/2024/05/27/selamat-ulang-tahun-saint-petersburg/?utm_source=webpushr&utm_medium=push&utm_campaign=9266

http://MIRMAGZ.com -sebelum seseorang menulis sebuah ulasan tentang suatu buku, perlu untuk mengerti mengapa dia melakukannya. #caramenulisresensi

https://mirmagz.com/2023/01/11/cara-menulis-ulasan-buku-yang-mudah-dan-menyenangkan/

Load More
anz.prjct
Medusaphotoworks
logo-lyubov-books
Lyubov Books - Toko Buku Online
Buku Terbaru WPAP dan Mistik Kesehariannya

Most Popular

Get The Latest Updates

Subscribe To Our Weekly Newsletter

No spam, notifications only about new products, updates.